Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Hanya Megawati yang Bisa "Meredam" Kim Jong Un

Kompas.com - 21/05/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jangan pernah remehkan perempuan karena dia bisa mengubah dunia
Jangan pandang karena gender semata tanpa paham kelebihannya
Bisa jadi, cara dan kiatnya kita sangsikan
Tetapi dipandang dunia dengan decak kagum

Adu nyalak senjata bukanlah cara penyelesaian
Saling bunuh sesama kerabat bukanlah cara beradab
Utara dan Selatan hanyalah batas fana di atas peta
Menjalin tali keluarga mengekalkan budaya menjadi asa

Memilin jalan berliku di antara batas 38 derajat lintang utara
Membelah Korea menjadi dua yang berbeda
Berharap sangat menjadi satu karena mereka bersaudara
Di jalanmu lah mereka berharap reunifikasi menjadi nyata

Sajak yang saya tulis dengan spontan ini, saya beri judul: “Mega Sang Penyatu” sebagai apresiasi saya atas sanjungan yang diberikan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol terhadap Presiden kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.

Yoon Suk-yeol bergitu terkesan dengan upaya-upaya yang dilakukan Megawati dalam membuka kebekuan dalam hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara.

Hanya sosok Megawati yang bisa diterima oleh Korea di belahan Selatan maupun di Utara.

Tidak hanya Presiden Yoon, kalangan parlemen Korea Selatan tetap berharap putri Bung Karno itu menjadi utusan khusus Pemerintah Korea Selatan untuk menciptakan perdamaian abadi di Semenanjung Korea (Kompas.com, 11/05/2022).

Secara khusus, Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut bersama Wakil Presiden Tiongkok Wang Qishan, Presiden Singapura Halimah Yacob, Presiden Afrika Tengah Faustin Archange Touadera, Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama dan Douglas Emhoff suami Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris diundang Presiden Yoon Suk-yeoul untuk menghadiri pelantikannya di plaza depan Gedung Parlemen Korea Selatan di Seoul, Selasa (10/5/2022).

Menariknya, presiden baru Korea Selatan itu menyebut nama panjang Megawati sembari menambahkan kata “Yang Mulia” dalam pidato pelantikannya. Sebuah penghargaan tersendiri sekaligus tugas sejarah yang harus diemban Megawati.

Tidak salah jika Korea Selatan menaruh harapan besar kepada Megawati untuk menjadi “jembatan” rekonsiliasi di Semenanjung Korea.

Inisiatif PBB bahkan mediasi negara-negara adidaya yang dekat secara “ideologis” dengan Korea Utara seperti Tiongkok dan Rusia atau yang sepaham dengan Korea Selatan, misalnya, Amerika Serikat dan Jepang hingga saat ini mengalami kebuntuan.

Sikap “keras” para pemimpin Korea Utara seperti Kim Jong Un atau ayahnya mendiang Kim Jong il yang tidak membuka pintu kompromi dengan langkah inisiatif perdamaian dari kalangan internasional menjadikan rekonsiliasi di Semenanjung Korea menjadi mimpi berkepanjangan.

Upaya Presiden AS Donald Trump yang berhasil mengajak Kim Jong Un di Singapura (2018) dan Vietnam (2019) namun gagal merumuskan kesepakatan kongkret adalah upaya terakhir Korea Utara membuka diri dengan “luar”.

Korea Utara begitu mengisolasi diri. Ibu Kota Pyongyang begitu menjadi kota “tertutup” bagi orang asing.

Saya yang pernah ikut dalam rombongan muhibah Megawati ke Pyongyang pada 2005 dan 2006 harus menggunakan pesawat charter dari Beijing karena maskapai yang reguler menerbangi Pyongyang dengan negara luar hanya Air Koryo, maskapai milik pemerintah Korea Utara.

Air Koryo membuka trayek Beijing – Pyongyang PP seminggu sekali serta Pyongyang – Vladivostok di Rusia.

Beijing dan Vladivostok menjadi jalan masuk atau jalan ke luar dari Korea Utara. Sementara jalur kereta api Pyongyang – Beijing telah lama dinonaktifkan apalagi saat pandemi Covid-19 tengah berkecamuk.

Hanya Megawati yang bisa memahami Pyongyang

Peperangan yang terjadi Semenanjung Korea 1950-1953 merupakan imbas pertarungan ideologi antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet.

Usai Perang Dunia II, Korea menjadi daerah yang diperebutkan oleh perang dingin antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dikomandoi Uni Sovyet.

Walau perang Korea telah berakhir, tetapi secara teknis kedua Korea tetaplah “berperang” mengingat tidak ada perjanjian damai yang diteken para pihak.

Korea Selatan yang berada di bawah pengaruh AS menganut paham liberal kapitalis. Sementara Korea Utara di bawah bayang-bayang Uni Sovyet yang mempercayai ideologi sosial komunis.

Jalinan pesahabatan Indonesia dengan Korea Utara telah dirintis dari kedekatan Presiden pertama Indonesia Soekarno dengan Kim Il Sung, kakek Kim Jong Un.

Muhibah resmi Soekarno ke Pyongyang dilakukan tanggal 1-4 November 1964. Saya berkesempatan bersama Megawati menonton film kunjungan Bung Karno tersebut di Pusat Arsip Korea Utara di Pyongyang, 2006 silam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com