Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

KKN (Koalisi-koalisi Ngeri) di Negeri Penari Politik

Kompas.com - 15/05/2022, 13:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kami akan membantu anda, bukan untuk memanfaatkan anda
Kami akan mewakili anda, bukan untuk mengkhianati anda
Kami akan berdiri di samping anda, bukan membelakangi anda
Kami akan memberantas korupsi, bukan untuk ambil bagian dalam korupsi

Ada yang berjanji ada juga yang mengingkari
Ada koalisi ada oposisi

(Kami Akan – seuntaipuisi.blogspot.com)

Walau 2024 masih sekitar dua tahun lagi, tapi bagi politisi tidak ada kata “lama” sepanjang kepastian politik belum tergenggam aman.

Manuver dan membuka inisiatif serta terobosan untuk mencari celah-celah politik harus terus dilakukan untuk menggenapkan syarat pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Untuk bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden, partai atau gabungan partai politik harus menguasai 115 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menjadi bagian yang berkuasa memang sangat mengasyikkan dan menjadi target dari partai politik.

Ikut gerbong kekuasaan akan mendapat akomodasi politik, sedangkan yang berjajar di baris oposisi, siap-siap “susah” menahan dahaga kekuasaan.

Ibarat penari, politisi harus lentur dan pandai menyesuaikan gerakan dengan irama musik politik kekuasaan.

Bisa jadi di rezim yang lama, para partai politik bersatu dalam bangun koalisi yang sama tetapi di periode berikutnya saling berhadapan di koalisi yang berbeda.

Tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik. Dalam politik hanya mengenal kepentingan kekuasaan semata. Omong kosong dengan visi misi partai apalagi ideologi.

Terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu dari tiga partai politik masing-masing Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta, Kamis (12/5/2022), bisa menjadi jawaban kebuntuan menyodorkan calon presiden untuk mengurangi cengkraman dominasi partai-partai besar seperti PDI-P, Gerindra dan PKB.

Atau bisa pula karena “minimnya” kader dari ketiga partai tersebut untuk dimajukan dalam kontestasi Pilpres.

Kehadiran Koalisi Indonesia bisa pula menghilangkan tensi ketegangan politik identitas yang di ajang Pilpres 2014 dan 2019 begitu mengemuka dan membelah para pemilih.

Selama ini, Golkar, PAN atau PPP hanyalah sekedar follower dari koalisi-koalisi di pilpres sebelumnya.

Mereka tidak punya kader internal yang memiliki magnitude politik besar. Nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kurang begitu seksi di mata calon pemilih, apalagi calon pemilih milenial.

Demikian juga nama Suharso Monoarfa (PPP) atau Zulkfli Hasan (PAN).

Dari berbagai survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei termasuk Nusakom Pratama, nama Suharso Monoarfa dan Zulkifli Hasan berada di luar 10 nama calon potensial untuk capres atau cawapres di Pilpres mendatang.

Kalaupun dipaksakan salah satu dari ke tiganya, dan itu pun selevel cawapres, maka nama Airlangga yang masih laik jual.

Berat jika Koalisi Indonesia Bersatu menyorongkan nama pasangan capres-cawapres dari kader internalnya sendiri.

Ibaratnya, partai-partai ini hanyalah perahu-perahu kosong yang belum mendapat penumpang (Kompas.com, 14 Mei 2022).

Penumpang yang akan menggunakan perahu bernama “Koalisi Indonesia Bersatu” tentu harus memiliki elektabilitas tinggi dan memiliki aset dan logistik yang berlimpah.

Bicara soal sosok yang memiliki elektabilitas tinggi tapi tidak memiliki “perahu” tentu akan merujuk ke figur Anies Baswedan.

Sementara untuk sosok dengan elektabilitas menengah dan tidak memiliki naungan partai, ada nama Ridwan Kamil, Erick Thohir dan Andhika Perkasa.

Koalisi Indonesia Bersatu sejatinya menjadi platform alternatif partai-partai “jomblo” yang kebingungan mengajukan calon karena faktor kecukupan suara untuk mengajukan pasangan capres – cawapres.

Pupusnya poros Islam & prospek Ganjar Pranowo-Prabowo Subianto

Hadirnya Koalisi Indonesia Bersatu bisa pula menjadi sekoci “penyelamat” andaikan Ganjar Pranowo tidak mendapat tiket pencapresan dari partai yang dicintainya: PDIP.

Itu pun dengan catatan, Ganjar mau berlabuh ke lain hati dan Koalisi Indonesia Bersatu paham arti besarnya potensi Ganjar meraup suara di kalangan milenial dan loyalis Jokowi.

Harus diakui, loyalis Jokowi tidak akan 100 persen melabuhkan suaranya ke partai banteng, PDI-P.

Pascaselesainya masa jabatan dua periode Jokowi, para pendukung, relawan dan fans garis keras Jokowi diyakini akan melabuhkan suaranya untuk Ganjar Pranowo. Pemilih Jokowi beririsan dengan pemilih Ganjar.

Hadirnya Koalisi Indonesia Bersatu juga mengikis politik sektarian yang “menjual” identitas agama.

Adanya wacana menyatukan partai-partai berazas Islam seperti PKS, PPP, PKB dan PAN ke dalam poros yang sama, menjadi layu di tengah jalan.

Menggapai kekuasaan dan menapak jalan terjal kampanye, koalisi berazas agama hanya menyempitkan segmentasi pemilih serta semakin sulit meraup suara di era “tik-tok” yang semakin masif digenggam pemilih-pemilih milenial.

Jika mengikuti skenario politik dan perkembangan terkini, andai PDI-P tetap memanfaatkan previladge 128 kursi di DPR yang dimilikinya karena menjadi satu-satunya partai yang bisa “lenggang-kangkung” mengusung capres-cawapres sendiri dan “ogah” berkoalisi dengan partai lain, maka bisa jadi akan membuka peluang munculnya poros-poros lain.

Skenario lain, PDI-P akan menggandeng Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto untuk running di ajang President Idol 2024.

Dengan 78 kursi Gerindra di DPR, membuat sisa suara yang diperebutkan partai-partai lain menjadi semakin terbatas.

Mau tidak mau, partai-partai tersisa harus segera merapatkan barisannya agar kecukupan suara segera diamankan.

Menjadi dilema jika Demokrat tidak kunjung mendapat “pacar”, sementara ajang Pilpres 2024 menjadi momentum strategis bagi AHY untuk masuk dalam orbit kekuasaan atau tidak sama sekali. Demokrat hanya tinggal menyisahkan PKS sebagai “konco wiking” untuk berkoalisi.

Poros ketiga bisa saja terjadi jika Gerindra tidak sepaham dengan PDIP dalam hal posisi calon RI-1.

Tentu Prabowo tidak akan mau ditempatkan sebagai second man di belakang Puan Maharani. Padahal menyatukan dua kekuatan besar politik di Indonesia ini, sebetulnya cukup “klik” saja.

Faktor kesejarahan hubungan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto telah terjalin lama di Pilpres 2009.

Faktor “Megapro” tidak menyurutkan harmonisasi antara PDI-P dengan Gerindra walau di Pilpres 2014 dan 2019 memiliki catatan “bermusuhan” di antara relasi ke dua partai ini.

Menjadi “koalisi dream team” andai jalinan PDI-P dan Gerindra dilengkapi dengan PKB maka selesai sudah “permainan” Pilpres 2024.

Itu pun dengan catatan, andai-andai semua pihak legowo dengan menyorongkan nama Ganjar Pranowo – Prabowo Subianto sebagai capres-cawapres dan Cak Imin sebagai third man serta Puan tetap memegang kendali penuh di PDI-P andai Megawati Soekarnoputeri istirahat dari dunia politik.

Puan dan Cak Imin tentu saja mendapat akomodasi di kabinet serta menempatkan kader-kader yang di-endorse Gerindra, PKB dan PDI-P.

Prabowo dan Megawati saatnya memberikan kesempatan kepada anak muda untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional seperti halnya saat keduanya memberikan kesempatan kepada Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama maju Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 silam.

Nama Prabowo akan dikenang sebagai lokomotif demokrasi Indonesia karena bersedia mengesampingkan ambisi lamanya yang terpendam untuk selalu maju di pentas Pilpres, dengan memberi kesempatan untuk anak muda menjadi presiden.

Sementara pengalaman dan kepiawaiannya dimaksimalkan sebagai “mentor” dan cukup menjadi wakil presiden saja.

Demikian pula Megawati akan semakin “harum” dikenang sebagai pendorong anak muda untuk berkesempatan tampil di pentas politik nasional.

Begitu banyak nama anak-anak muda diorbitkan sebagai pemimpin lokal yang berkualitas lalu “diterbangkan” ke panggung nasional.

Nama-nama Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Abdullah Azwar Anas, Tri Rismaharini, Kepala BKKBN yang sebelumnnya Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo, Djarot Saeful Hidayat, Walikota Semarang Hendrar Prihadi, Walikota Solo Gibran Rakabuming, Bupati Trenggalek Nur Arifin, Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani, Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandow, Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, Bupati Landak Karoline Margret Natasa, Walikota Singkawang Tja Tju Mie, Bupati Sanggau Paulos Hadi, Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana, Walikora Surabaya Eri Cahyadi misalnya adalah “polesan” tangan dingin Megawati.

Ganjar Pranowo harus lebih “bergaul” dan mewongke senior-senior PDI-P serta lebih mengikuti arahan DPP partai agar tidak terkesan jalan sendiri dan “besar kepala”.

Merangkul Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Pacul akan mudah tergamit jika komunikasi antara Ganjar Pranowo dengan elite-elite Banteng mencair.

Pakem Banteng sejati adalah lebih mudah menyatukan “balung-balung” yang terpisah daripada “eker-ekeran” sendiri.

Nasib partai-partai lain & koalisi lain

Poros keempat yang hampir pasti terwujud karena sudah dinyatakan kesepakatan bersama, tentu saja Koalisi Indonesia Bersatu.

Golkar yang menggenggam 85 kursi di DPR ditambah jumlah kursi PPP dan PAN serta menarik parpol-parpol lain seperti Nasdem atau Demokrat atau PKB, misalnya, akan mencukupkan suara untuk mengajukan calon lain.

Hanya saja memadupadankan ego masing-masing anggota koalisi bukan perkara mudah, mengingat masing-masing ketua umum saling meninggikan “elektabilitas” dan “popularitas” dengan mengesampingkan modalitas biaya kampanye.

Andai PKB dan Demokrat bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Bersatu, akan ada tiga nama yang sama-sama “ngebet” untuk jadi capres atau cawapres.

Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar dan Agus Harimutri Yudhoyono akan saling “jual diri” untuk mengamankan tiket.

Keputusan Nasdem yang akan membuka konvensi dengan menyorongkan nama Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Andhika Perkasa menjadi menarik mengingat Surya Paloh “tahu diri” dan berkomitmen partainya hanya mengajukan calon pemimpin nasional yang berkualitas dan memiliki elektabilitas tinggi.

Andaikan skenario ini berjalan mulus, maka nama Ganjar Pranowo – AHY dengan catatan Ganjar tidak mendapat tiket dari PDI-P atau Anies Baswedan – AHY akan menjadi nilai jual “negri-ngeri sedap” di negeri penari politik ini.

Poros selanjutnya yang bisa muncul adalah Nasdem dengan menggandeng tiga partai politik yang tidak tertampung di koalisi yang dibangun PDI-P – Gerindra atau Koalisi Indonesia Bersatu maka akan menjadi daya tarik sendiri di hajatan nasional Pilpres 2024.

Jualan nama Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Andhika Perkasa atau Erick Thohir misalnya yang dikenal “tajir melintir” tentu akan memudahkan partai besutan Suya Paloh untuk menarik partai-partai “jomblo” ke dalam barisan koalisinya.

Poros keenam yang memungkinkan muncul adalah “sisa-sisa” laskar Pilpres 2014 dan 2019 yang tetap ngotot memajukan nama AHY sebagai capres.

Kontestasi 2024 adalah kesempatan emas yang harus direbut oleh klan Cikeas jika ingin merawat jejak kepemimpinan SBY yang bisa menjabat dua periode.

Hanya saja, basis dukungan untuk Demokrat hanya tinggal berharap kepada PKS. Bisa jadi PKB diajak masuk dalam koalisi asal memberi ruang bagi Cak Imin untuk mewujudkan mimpinya, minimal menjadi calon RI-2.

Bisa saja menjadi “penari-penari politik” yang handal di koalisi ini andai saja poros ini mengajukan nama “penumpang” yang menjadi kuda hitam di Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan yang dipasangkan dengan AHY atau Cak Imin.

Belum lagi nama Khofifah Indar Parawansa dan Ridwan Kamil juga layak menjadi capres atau cawapres alternatif pula.

Sekali lagi, partai politik perlu kebesaran hati untuk mengajukan calon-calon alternatif di pentas kepemimpinan nasional mendatang.

Koalisi-Koalisi “Ngeri” (KKN) di Negeri Penari Politik saatnya memberikan harapan akan pilihan rakyat yang sebenarnya.

Rakyat tidak butuh pemimpin yang pandai pidato tetapi “memble” di tugas-tugas kerakyatannya.

Kita butuh presiden yang bisa menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau, yang tidak membiarkan para menterinya berpesta pora di proyek-proyek besar, yang menjamin aneka penyakit tidak menjadi wabah, yang bisa menyediakan lapangan kerja untuk bangsa sendiri dan bukan untuk orang asing.

Kita butuh pemimpin tegas yang bijaksana. Itu saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com