KOMPAS.com – Seseorang yang menjadi korban salah tangkap oleh kepolisian dapat mengajukan rehabilitasi untuk memulihkan nama baiknya.
Tak hanya itu, yang bersangkutan juga dapat menuntut ganti kerugian atas kesalahan yang terjadi dan menyebabkan kerugian untuknya.
Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam undang-undang tersebut, rehabilitasi dan ganti kerugian merupakan hak yang dimiliki seseorang yang berstatus tersangka, terdakwa atau terpidana yang menjadi korban kesalahan atau kekeliruan penegak hukum.
Baca juga: Komnas HAM: Korban Salah Tangkap Polsek Tambelang Bekasi Disiksa 7 Jam hingga Terpaksa Mengaku
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.
Hak rehabilitasi bagi korban salah tangkap dituangkan dalam Pasal 97 Ayat 1 KUHAP.
Pasal tersebut berbunyi, “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus oleh hakim praperadilan.
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili, atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.
Hak ganti kerugian bagi korban salah tangkap dituangkan dalam Pasal 95 Ayat 1 KUHAP.
Pasal tersebut berbunyi, “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Tuntutan ganti kerugian juga dapat diajukan oleh ahli waris yang bersangkutan kepada pengadilan yang berwenang mengadili. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian akan diputus di dalam sidang praperadilan.
Baca juga: 9 Anggotanya Salah Tangkap Warga dan Diperiksa Propam, Kapolres Lamongan: Kami Minta Maaf
Adapun besaran ganti kerugian yang akan didapat oleh korban salah tangkap adalah minimal Rp 500.000 dan paling banyak Rp 100 juta.
Angka ini sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Namun, jika kekeliruan atau kesalahan penangkapan atau penahanan yang dialaminya mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian yang diterima adalah Rp 25 juta-Rp 300 juta.
Adapun jika penangkapan atau penahanan yang dialami mengakibatkan mati, maka besarnya ganti kerugian yang diberikan sesuai aturan adalah Rp 50 juta-Rp 600 juta.
Tuntutan ganti kerugian dapat diajukan paling lama tiga bulan sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
Dalam hal perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, ganti kerugian diajukan paling lambat tiga bulan sejak tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
Sementara itu, para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan kesalahan penangkapan akan diberikan sanksi. Ia akan dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman administrasi.
Ini sesuai dengan asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang terdapat dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Referensi: