JAKARTA, KOMPAS.com – “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.”
Kutipan yang ditulis oleh Eric Weiner dalam bukunya berjudul The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Paces in the World, rupanya pernah benar-benar dirasakan oleh Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya, kyai yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Namun, hal itu diderita Gus Yahya bukan karena pohon di sekitar rumahnya sudah ditebang atau sungai dekat tempatnya tinggal kering. Bukan pula gara-gara perairan di sekitar kotanya sudah kehabisan ikan.
“Karena belum pernah punya pengalaman Lebaran di Jakarta,” ucap Yahya ketika berbincang dengan Kompas.com, Kamis (21/4/2022).
Baca juga: Cerita Ramadhan Viva Yoga Mauladi: Rindu Ditanya Ibu Kapan Pulang ke Lamongan
Yahya, sosok yang kerap mengumbar humor dalam kalimat-kalimat yang meluncur dari lidahnya, berkisah tentang keadaan pada hari Rabu, 27 Desember 2000 silam.
Saat itu, Yahya masih berusia 34 tahun. Meski begitu, pada umur yang masih dapat disebut muda itu, Gus Yahya dipilih menjadi satu di antara 3 juru bicara Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, selain Ngatawi Al Zastrow dan Adhie Massardi.
Tugas dan pengabdiannya kepada Gus Dur membuat pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu tak pulang kampung menjelang Idul Fitri 2022.
Terlebih, Yahya mengakui bahwa ia sudah mendaulat diri sendiri sebagai murid Gus Dur sejak remaja, karena kagum berat kepadanya.
Menurutnya, salah satu momen tersulit selama jadi perpanjangan lidah Gus Dur adalah saat-saat menjelang Lebaran.
Gus Dur dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Kerendahan hatinya membuat cucu pendiri NU Hasyim Asy’ari itu hampir selalu menerima tamu dengan tangan terbuka tanpa pandang status sosial.
Baca juga: Cerita Cak Imin Kembali Merdeka di Ramadhan 2022
“Tradisi” itu sudah Gus Dur lakukan sejak ia menjadi Ketua Umum PBNU selama tiga periode dan tetap ia jaga tatkala duduk di tampuk kepemimpinan republik.
Maka, sulit untuk tidak membayangkan betapa banyak orang yang bakal berduyun-duyun untuk sowan kepadanya, walau untuk sesaat, ketika Gus Dur membuka pintu lebar-lebar untuk open house.
“Saya harus mendampingi Presiden. Presiden mau open house, saya tidak berani pulang untuk mudik,” ucap Yahya.
Alkisah, sudah sepekan terakhir itu ia tinggal di rumahnya hanya ditemani seorang sopir. Anaknya, juga istrinya yang ia nikahi 2,5 tahun sebelumnya, sudah ia pulangkan lebih dulu.
“Itu sekali-kalinya seumur hidup, saya Lebaran di Jakarta. Tahun 2000,” ucapnya.