Bripda PS seorang oknum anggota Kepolisian Resor (Polres) Wonogiri terpaksa “dilumpuhkan” tim reserse mobile (Resmob) Poresta Solo.
Bripda PS sebelumnya melakukan pemerasan terhadap sejumlah pasangan yang ketahuan “check-in” di sejumlah hotel melati di Solo.
Laporan korban kepada kepolisian ditindaklanjuti dengan penyidikan. Saat hendak ditangkap, pelaku melawan dan mencoba kabur serta membahayakan keselamatan pengguna jalan dan tim resmob.
Saat dilakukan tindakan terukur terhadap pelaku, baru ketahuan ternyata pelakunya adalah oknum polisi.
Kini Bripda PS terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi, Solo sembari menunggu proses pemeriksaan lebih lanjut. Sementara tiga anggota komplotan yang lain juga berhasil diringkus.
Mereka ini adalah komplotan penjahat yang telah beroperasi lama dengan modus pemerasan pasangan sejoli yang “ngamar” di berbagai hotel kelas melati di kawasan Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali dan Kota Solo (Kompas.com, 21/04/2022).
Apapun alasannya entah karena gaji dan tunjangan yang minim, tindakan polisi yang merangkap menjadi penjahat sangat tidak dibenarkan.
Akan lebih terhormat, polisi “merangkap” kerjaan lain yang halal seperti menjadi sekuriti, misalnya, untuk menutupi pendapatannya yang cekak. Tentu saja harus ada izin dari komandan dan kesatuannya.
Pola rekrutmen calon anggota tamtama, bintara maupun Akademi Kepolisian harus terus direvisi untuk menghasilkan personel yang mumpuni.
Isu-isu negatif tentang “jalan belakang” dalam hal penerimaan calon siswa tamtama dan bintara harus terus dibuktikan dengan proses penerimaan yang akuntabel dan transparan.
Animo calon pendaftar Akademi Kepolisian yang lebih besar daripada pendaftar ke Akademi militer karena alasan menjadi perwira polisi “lebih sejahtera” dan “cepat tajir” daripada menjadi perwira AD, AL atau AU harus menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan di Mabes Polri.
Mindset calon siswa harus diluruskan bahwa menjadi polisi yang profesional adalah kebanggaan.
Demikian juga dengan pola pembinaan, pengawasan dan penegakkan disiplin di lingkungan Polri perlu terus digalakkan.
Komandan satuan dan kepala sektor hingga resor tidak boleh abai dan lalai dalam membina anak buahnya.
Bripda PS ternyata kerap melakukan pelanggaran etika seperti pemukulan terhadap pacarnya, memprovokasi keributan antara dua perguruan silat serta menembakkan pistol untuk membubarkan latihan perguruan beladiri.
Arogansi personel polisi bisa terjadi karena tidak adanya pembinaan dan pengawasan dari atasan.
Lain Wonogiri, lain pula di Binjai, Sumatera Utara. Kali ini kelakuan oknum polisi dari Satuan Resor Narkoba Polres Binjai “menjebak” RN yang dianggap memesan sabu dari ET.
Dari rekaman closed camera television (CCTV) yang viral jelas terlihat aksi penjebakan dan penangkapan polisi yang sangat tidak profesional dan janggal.
Akibatnya Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Panca Simanjuntak yang dikenal “tegas” langsung mencopot Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasat Res Narkoba) Polres Binjai AKP Firman Imanuel Perangin-Angin.
Dari penjelasan Kapolres Binjai AKBP Ferio Sano, tindakan anak buahnya menangkap RN dikarenakan memang pecandu narkoba dan memiliki riwayat sebagai pemakai narkoba yang pernah direhabilitasi.
Hanya saja saat menguraikan kejanggalan anak buahnya tidak menangkap ET pemberi sabu yang dalam rekaman CCTV dibiarkan melenggang bebas, terkesan janggal.