Salin Artikel

Polisi Pemeras, Polisi Penjebak dan Polisi Jailani

Seorang polisi lalu lintas dari Polres Gresik, Jawa Timur bernama Jaelani berpangkap Aiptu justru begitu menjiwai korsanya sebagai abdi bhayangkara negara.

Suatu ketika, Jailani menindak aksi “ngebut” sebuah mobil yang menerabas lampu merah. Saat hendak dikeluarkan surat tilang, si pengemudi mengeluarkan selembar uang bernominal Rp 50.000.

Mungkin sang sopir mengira Jailani termasuk polisi “prit gocap” alias takluk dengan kibasan uang lima puluh ribuan.

Bukannya menerima uang sogokan dan memasukkan ke celana, Jailani tetap menjalankan prosedur penilangan.

Ketika sogokan tidak mempan, sang sopir mengeluarkan kartu pengenal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jailani tidak gentar. Dia tetap mengeluarkan surat tilang karena berpendapat KPK adalah “mbahurekso” pemberantasan korupsi, maka dirinya harusnya memberi contoh perilaku anti korupsi sebagai anggota kepolisian.

Apalagi aksi menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi, tidak saja membahayakan pengemudi saja, tetapi juga menimbulkan risiko ke pengguna jalan yang lain.

Lain waktu, Aiptu Jailani menemukan mobil yang ditinggal pemiliknya di bawah tanda larangan parkir. Tanpa gentar, Jailani mendatangi sang empunya kendaraan dan ia mendapat dampratan.

Ternyata si pemilik mobil tersebut adalah perwira Polda Jawa Timur yang tidak terima dengan cara prosedural yang ditempuh Jailana.

Dengan mengancam akan melaporkan ke Kapolres Gresik, perwira tadi “ngedumel”. Mungkin perwira ini kena batunya setelah menelepon kapolres, akhirnya bisa menerima penilangan dari Jailani.

Yang lebih “ambyar” lagi, Jailani pernah menilang istrinya sendiri karena melanggar aturan bebas kendaraan saat car free day.

Istrinya menerima penindakan pelanggaran lalu lintas dari petugas yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Hanya saja, Jailani sempat tidak disapa selama selama tiga hari sebelum akhirnya berbaikan kembali.

Selama bertugas di satuan lalu lintas, Jailani dikenal dengan kejujurannya serta berprestasi. Aiptu Jailani disebut banyak mendapatkan pengharaan karena integritasnya sebagai anggota polisi.

Pada tahun 2013, Jailani bahkan pernah menerima penghargaan dari Polda Jawa Timur karena credit point dengan jumlah surat tilang terbanyak, yaitu 2400 surat tilang selama satu tahun.

Dengan 2400 surat tilang dalam setahun, artinya Jailani setiap hari rata-rata menilang enam hingga delapan pelanggar lalu lintas.

Adapun pengendara yang ditilang oleh Jailani beragam mulai dari warga sipil, petinggi polisi, TNI, wartawan hingga pejabat Pemkab Gresik (Merdeka.com, 1 April 2013).

Kini kisah Jailani melegenda dan tinggal kenangan. Hari Minggu (17/4/2022), Jailani wafat usai berbuka puasa di rumah sederhanya di Gresik, Jawa Timur.

Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. Diduga Jailani menderita sakit jantung.

Jeruk makan jeruk

Jika dari Gresik kita mencium bau wangi soal polisi jujur, dari Wonogiri, Jawa Tengah kita menjumpai bau tengik polisi.

Bripda PS seorang oknum anggota Kepolisian Resor (Polres) Wonogiri terpaksa “dilumpuhkan” tim reserse mobile (Resmob) Poresta Solo.

Bripda PS sebelumnya melakukan pemerasan terhadap sejumlah pasangan yang ketahuan “check-in” di sejumlah hotel melati di Solo.

Laporan korban kepada kepolisian ditindaklanjuti dengan penyidikan. Saat hendak ditangkap, pelaku melawan dan mencoba kabur serta membahayakan keselamatan pengguna jalan dan tim resmob.

Saat dilakukan tindakan terukur terhadap pelaku, baru ketahuan ternyata pelakunya adalah oknum polisi.

Kini Bripda PS terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi, Solo sembari menunggu proses pemeriksaan lebih lanjut. Sementara tiga anggota komplotan yang lain juga berhasil diringkus.

Mereka ini adalah komplotan penjahat yang telah beroperasi lama dengan modus pemerasan pasangan sejoli yang “ngamar” di berbagai hotel kelas melati di kawasan Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali dan Kota Solo (Kompas.com, 21/04/2022).

Apapun alasannya entah karena gaji dan tunjangan yang minim, tindakan polisi yang merangkap menjadi penjahat sangat tidak dibenarkan.

Akan lebih terhormat, polisi “merangkap” kerjaan lain yang halal seperti menjadi sekuriti, misalnya, untuk menutupi pendapatannya yang cekak. Tentu saja harus ada izin dari komandan dan kesatuannya.

Pola rekrutmen calon anggota tamtama, bintara maupun Akademi Kepolisian harus terus direvisi untuk menghasilkan personel yang mumpuni.

Isu-isu negatif tentang “jalan belakang” dalam hal penerimaan calon siswa tamtama dan bintara harus terus dibuktikan dengan proses penerimaan yang akuntabel dan transparan.

Animo calon pendaftar Akademi Kepolisian yang lebih besar daripada pendaftar ke Akademi militer karena alasan menjadi perwira polisi “lebih sejahtera” dan “cepat tajir” daripada menjadi perwira AD, AL atau AU harus menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan di Mabes Polri.

Mindset calon siswa harus diluruskan bahwa menjadi polisi yang profesional adalah kebanggaan.

Demikian juga dengan pola pembinaan, pengawasan dan penegakkan disiplin di lingkungan Polri perlu terus digalakkan.

Komandan satuan dan kepala sektor hingga resor tidak boleh abai dan lalai dalam membina anak buahnya.

Bripda PS ternyata kerap melakukan pelanggaran etika seperti pemukulan terhadap pacarnya, memprovokasi keributan antara dua perguruan silat serta menembakkan pistol untuk membubarkan latihan perguruan beladiri.

Arogansi personel polisi bisa terjadi karena tidak adanya pembinaan dan pengawasan dari atasan.

Polisi penjebak dari Binjai

Lain Wonogiri, lain pula di Binjai, Sumatera Utara. Kali ini kelakuan oknum polisi dari Satuan Resor Narkoba Polres Binjai “menjebak” RN yang dianggap memesan sabu dari ET.

Dari rekaman closed camera television (CCTV) yang viral jelas terlihat aksi penjebakan dan penangkapan polisi yang sangat tidak profesional dan janggal.

Akibatnya Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Panca Simanjuntak yang dikenal “tegas” langsung mencopot Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasat Res Narkoba) Polres Binjai AKP Firman Imanuel Perangin-Angin.

Dari penjelasan Kapolres Binjai AKBP Ferio Sano, tindakan anak buahnya menangkap RN dikarenakan memang pecandu narkoba dan memiliki riwayat sebagai pemakai narkoba yang pernah direhabilitasi.

Hanya saja saat menguraikan kejanggalan anak buahnya tidak menangkap ET pemberi sabu yang dalam rekaman CCTV dibiarkan melenggang bebas, terkesan janggal.

Selain tidak melawan, tindakan dua oknum polisi yang membiarkan ET pergi dari lokasi juga terlihat aneh.

ET baru ditangkap polisi usai video rekaman CCTV tersebut viral dan menjadi pembicaraan banyak kalangan (Kompas.com, 20/04/2022).

Isu dan gosip seputaran kabar polisi “menjebak” orang yang tidak bersalah dengan temuan narkoba memang tidak pernah selesai.

Seperti bau kentut, terasa bau busuknya tetapi soal siapa yang mengeluarkan “angin” sulit untuk dicari penyebabnya.

Kasus kejanggalan dalam hal penindakan polisi baru menjadi atensi publik usai kejadiannya viral dan menjadi perbincangan di masyarakat.

Jangan harap jika kejadiannya di pelosok negeri dan tidak ada yang sempat merekam videonya akan menjadi atensi publik, apalagi mendapat respons cepat dari Mabes Polri.

Hanya saja publik juga harus obyektif dan tidak berat sebelah dengan kejadian yang viral namun kebenarannya masih sumir.

Kejadian pedagang perempuan di Pasar Bogor yang menangis histeris di depan Presiden Joko Widodo (21/4/2022), karena mengadukan pamannya yang bernama Ujang Sarjana telah ditahan polisi.

Presiden Jokowi begitu mendengar pengaduan tersebut langsung memerintahkan Sekretaris Kabinet Pramono Anung untuk mencatat kronologisnya.

Pramono langsung meminta Kapolda Jawa Barat dan Kapolresta Bogor untuk menyelesaikan pengaduan tersebut.

Pernyataan antara kerabat dan kuasa hukum Ujang Sarjana dan Polres Bogor saling bertolak belakang.

Jika pihak keluarga dan kuasa hukum menyebut Ujang Sarjana ditahan polisi tanpa prosedur yang benar dan kasus tersebut terjadi karena penolakan terhadap aksi pungutan liar, sebaliknya Polres Bogor yang diperkuat keterangan pihak Pasar Bogor justru sebaliknya.

Ujang Sarjana ditahan polisi karena terlibat keributan soal perebutan lapak dagangan dan aksi pengeroyokan (Kompas.com, 23/04/2022).

Semoga kasus yang sempat viral tersebut mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, baik untuk Ujang Sarjana atau orang yang dianggap melakukan pungli dan menjadi korban pengeroyokan.

Butuh keprofesionalan polisi untuk menuntaskan kasus ini agar tidak menjadi polemik.

Saya jadi teringat dengan Ismail Ahmad – warga Kabupaten kepulauan Sula, Maluku Utara yang pernah diperiksa aparat kepolisian hanya karena mengutip lelucon yang pernah dilontarkan oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Suara.com, 18 Juni 2020).

Gus Dur pernah berujar, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni: patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Inilah candaan Gus Dur soal kejujuran polisi bernama Hoegeng Iman Santoso.

Sosok-sosok polisi seperti Hoegeng sebetulnya banyak karena kita pernah menemukan pada diri mendiang Aiptu Jailani dari Polres Gresik.

“Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita masih bisa makan dengan garam”. (Jenderal Pol. Hoegeng Iman Santoso – Kapolri periode 1968 – 1971).

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/24/07450021/polisi-pemeras-polisi-penjebak-dan-polisi-jailani

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke