Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemendagri Izinkan NIK Diakses Perusahaan, Dasar Hukum Pemerintah Dianggap Lemah

Kompas.com - 18/04/2022, 14:52 WIB
Vitorio Mantalean,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kini menerapkan biaya layanan Rp 1.000 untuk akses data nomor induk kependudukan (NIK) bagi 5.010 institusi berbadan hukum, termasuk perusahaan/lembaga berorientasi laba.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengkritik mekanisme akses data oleh pihak ketiga ini.

Pemerintah dinilai tak punya dasar yang kuat untuk melakukannya, baik dari segi persetujuan penduduk sebagai yang memiliki data maupun dari aspek peraturan.

"Sebetulnya dasar hukumnya di mana?" ujar Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, ketika dihubungi Kompas.com, Senin (18/4/2022).

Baca juga: Siapa Saja yang Harus Membayar Rp 1.000 untuk Akses NIK?

"Kita sebagai warga negara tidak mengetahuinya. Kita juga tidak pernah mendapat informasi dari awal bahwa data-data kependudukan itu akan dikerjasamakan aksesnya dengan pihak lain," lanjutnya.

Izin akses data kependudukan sebetulnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Peraturan itu memuat 31 item data kependudukan dan data agregat untuk digunakan untuk 5 keperluan, yaitu pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum/pencegahan kriminal.

Berkaca pada beleid tersebut, data kependudukan sejak awal tidak dimaksudkan untuk kepentingan pihak ketiga, apalagi dimonetisasi.

"Menjadi persoalan ketika tiba-tiba data kependudukan yang kita berikan aksesnya atau kita serahkan kepada pemerintah untuk tujuan-tujuan yang diatur UU Administrasi Kependudukan, tiba-tiba dimonetisasi (untuk pihak ketiga)," jelas Wahyudi.

Namun, kebijakan akses data kependudukan untuk pihak ketiga ini bukan kebijakan baru.

Baca juga: Dukcapil: Biaya Akses NIK Rp 1.000 untuk Bank, Asuransi, dan Pasar Modal

Sejak 2015, kebijakan ini telah diteken oleh pemerintah lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2015 yang mengatur lebih detail soal pemanfaatan data kependudukan, termasuk NIK.

Dalam beleid ini lah, akses data terhadap "badan hukum" diperbolehkan meski tak diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.

Wahyudi mendesak agar UU Administrasi Kependudukan direvisi sebelum pemerintah membolehkan akses data kependudukan oleh pihak ketiga.

Selain untuk memberi payung hukum yang jelas, revisi ini juga perlu untuk memberikan kepastian mengenai mekanisme perlindungan data pribadi penduduk.

Baca juga: Dukcapil: Biaya Akses NIK Rp 1.000 untuk Jaga Sistem Tetap Hidup

Sebab, badan hukum yang dapat mengakses data kependudukan selama ini cukup bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil lewat nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama, sistem PoC (Proof of Concept), penandatangan NDA (Non Disclosure Agreement), dan SPTJM (Surat Pertanggungjawaban Mutlak).

"Kalau di legislasi belum ada, apakah nota kesepahamannya telah menerapkan standar tertinggi dalam kerja sama pengaksesan?" kritik Wahyudi.

"Yang menjadi pertanyaan adalah dalam nota kesepahaman itu, apakah juga diatur standar perlindungan data yang diterapkan, karena kita tidak punya rujukan yang baik terkait perlindungan data pribadi," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com