Praktik hukum yang terjadi selama ini justru cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), dan enggan memproses laporannya.
Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP maupun proses hukum yang bias selama ini, mendorong kelompok perempuan mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan hukum acaranya dalam UU (Undang-Undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
UU TPKS diapresiasi karena berhasil mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.
Adapun perkosaan tidak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur dalam KUHP/RKUHP.
Meskipun demikian, sebenarnya delik perkosaan tetap diatur melalui Pasal 4 (2) yang dikenal sebagai “pasal jembatan”.
Pasal itu menegaskan bahwa perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga semua hal yang diatur dalam UU TPKS juga berlaku bagi korban perkosaan khususnya hukum acara.
UU TPKS memberikan sejumlah terobosan penting meliputi cakupan alat bukti seperti barang bukti menjadi alat bukti, informasi/dokumen elektronik, dan surat keterangan psikolog klinis/psikiater/spesialis dokter jiwa sebagai alat bukti surat (Pasal 24).
Selain itu UU TPKS memprioritaskan keterangan korban sebagai alat bukti utama (Pasal 25), dan mengakui peran pendamping dalam proses penyidikan, terutama dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping. (Pasal 54 (3)).
Pasal 54 (3) merupakan usulan tambahan dari koalisi masyarakat sipil yang sebelumnya tidak ada dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah maupun DPR, untuk menjembatani antara kepentingan penegakan hukum dengan kepentingan pemulihan yang selama ini belum terintegrasi dalam layanan terpadu.
Aspek ini juga diperkuat, dengan ketentuan yang memungkinkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban melalui perekaman elektronik baik secara langsung maupun jarak jauh (Pasal 49).
Selain itu, bagi APH (aparat penegak hukum) yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban, dan tidak boleh “melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban….” (Pasal 21-22).
UU TPKS juga telah mengatur hak-hak korban, keluarga korban, dan saksi di dalam bab tersendiri.
Di antaranya, hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual; hak atas informasi dan dokumen terhadap seluruh proses penanganan dan pemulihan; hak atas penghapusan konten bermuatan seksual; layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban (Pasal 65-70).
Selain terobosan hukum di atas, juga terdapat kemajuan lainnya di UU TPKS dalam aspek pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga, serta koordinasi dan pemantauan.
UU TPKS dapat dikatakan cukup komprehensif karena telah memuat enam elemen kunci: pencegahan, pengaturan tindak pidana, pemidanaan termasuk rehabilitasi pelaku, hukum acara, pemulihan serta pemantauan.