Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
APIK
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan

Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) didirikan tujuh pengacara perempuan di Jakarta tahun 1995. APIK melakukan pendampingan dan bantuan hukum bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi.

Delik Perkosaan Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Kompas.com - 16/04/2022, 19:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Ratna Batara Munti *

SEORANG gadis muda diperkosa tetangganya, yang merupakan mantan pacarnya. Korban alami depresi berat dan pernah ingin bunuh diri.

Korban yang saat itu tengah hamil empat bulan, sempat didampingi keluarganya ke pusat layanan terpadu milik pemerintah untuk meminta pendampingan psikologis. Namun tidak direspon dengan alasan psikolog terbatas, hanya ada dua psikolog yang menyisihkan waktu di antara jadwal mengajarnya yang padat di sebuah kampus.

Korban sudah dua kali melapor ke kantor polisi setempat. Namun laporannya tidak diterima. Bahkan, setelah didampingi pendamping hukum untuk kembali melaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) polres setempat, tetap gagal meyakinkan kepolisian untuk menerbitkan surat laporan polisi.

Baca juga: FPL: 9 Jenis Tindak Kekerasan Seksual dalam RUU PKS Nyata Terjadi

Keterangan korban tidak dipercaya penyidik. Pernyataan-pernyataan seperti “kok mau dibawa pelaku”, “korban kan sudah dewasa”, “maaf tidak ada pasalnya” , “ini sulit dibuktikan ada paksaannya” dan seterusnya sering kali muncul.

Saat korban pada akhirnya alami kelahiran prematur dan ingin melakukan tes DNA, meskipun ada anggaran untuk Tes DNA yang disediakan provinsi, tetap saja gagal diakses karena korban tidak berhasil mendapat surat pengantar dari kepolisian.

Fenomena laporan korban diragukan

Fenomena di atas mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan, dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya tidak mudah diproses laporannya. Pasalnya, sejak awal keterangan korban sudah diragukan.

Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat hukum. Bahwa korban jalan dengan pelaku bukan berarti dia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu.

Sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.

Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih kental kecurigaan, seolah korban “bukanlah perempuan baik-baik”.

Bila ditelusuri, aturan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Syarat itu sudah membatasi pengalaman korban sejak awal (pelaporan). Meskipun RKUHP sudah memperluas cakupan defenisi perkosaan, tetapi tetap dibatasi oleh unsur yang sama (Pasal 479 (1) RKUHP).

Faktanya, perkosaan yang dialami perempuan tidak selalu melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Modusnya bisa seperti dengan tipu muslihat, membuat korban tidak berdaya, ancaman/tekanan psikis dan bentuk-bentuk lainnya yang biasanya dilakukan oleh orang yang dikenal atau memiliki hubungan dekat dengan korban.

Dalam konteks perkosaan, korban mungkin saja setuju terhadap beberapa bentuk keintiman, tetapi tidak untuk melakukan hubungan seksual, atau setuju untuk melakukan hubungan seksual tetapi kemudian memutuskan menghentikan atau menolak untuk melanjutkan, tetapi pelaku tetap memaksakan kehendaknya.

Baca juga: Poin-poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Praktik hukum yang terjadi selama ini justru cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), dan enggan memproses laporannya.

Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP maupun proses hukum yang bias selama ini, mendorong kelompok perempuan mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan hukum acaranya dalam UU (Undang-Undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Terobosan hukum dalam UU TPKS

UU TPKS diapresiasi karena berhasil mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.

Adapun perkosaan tidak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur dalam KUHP/RKUHP.

Meskipun demikian, sebenarnya delik perkosaan tetap diatur melalui Pasal 4 (2) yang dikenal sebagai “pasal jembatan”.

Pasal itu menegaskan bahwa perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga semua hal yang diatur dalam UU TPKS juga berlaku bagi korban perkosaan khususnya hukum acara.

UU TPKS memberikan sejumlah terobosan penting meliputi cakupan alat bukti seperti barang bukti menjadi alat bukti, informasi/dokumen elektronik, dan surat keterangan psikolog klinis/psikiater/spesialis dokter jiwa sebagai alat bukti surat (Pasal 24).

Selain itu UU TPKS memprioritaskan keterangan korban sebagai alat bukti utama (Pasal 25), dan mengakui peran pendamping dalam proses penyidikan, terutama dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping. (Pasal 54 (3)).

Pasal 54 (3) merupakan usulan tambahan dari koalisi masyarakat sipil yang sebelumnya tidak ada dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah maupun DPR, untuk menjembatani antara kepentingan penegakan hukum dengan kepentingan pemulihan yang selama ini belum terintegrasi dalam layanan terpadu.

Aspek ini juga diperkuat, dengan ketentuan yang memungkinkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban melalui perekaman elektronik baik secara langsung maupun jarak jauh (Pasal 49).

Selain itu, bagi APH (aparat penegak hukum) yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban, dan tidak boleh “melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban….” (Pasal 21-22).

UU TPKS juga telah mengatur hak-hak korban, keluarga korban, dan saksi di dalam bab tersendiri.

Di antaranya, hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual; hak atas informasi dan dokumen terhadap seluruh proses penanganan dan pemulihan; hak atas penghapusan konten bermuatan seksual; layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban (Pasal 65-70).

Tantangan Operasionalisasi UU TPKS

Selain terobosan hukum di atas, juga terdapat kemajuan lainnya di UU TPKS dalam aspek pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga, serta koordinasi dan pemantauan.

UU TPKS dapat dikatakan cukup komprehensif karena telah memuat enam elemen kunci: pencegahan, pengaturan tindak pidana, pemidanaan termasuk rehabilitasi pelaku, hukum acara, pemulihan serta pemantauan.

Namun, untuk operasionalnya UU TPKS ini masih membutuhkan berbagai kebijakan turunan (10 PP/PerPres), pengalokasian anggaran serta penyediaan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dengan memerhatikan kondisi geografis serta kesulitan akses layanan korban di berbagai daerah.

Baca juga: UU TPKS Atur Hak Korban dan Keluarga Korban Kekerasan Seksual, Apa Saja?

Terkait penyelenggaraan layanan terpadu, idealnya bisa dilakukan dalam satu atap dengan mekanisme layanan yang terintegrasi sehingga semua layanan dapat menjangkau korban di satu tempat.

Jika pun tidak dimungkinkan, alternatifnya dengan memperbaiki mekanisme yang memungkinkan korban tidak lagi dirujuk berkali-kali, serta mencegah penggalian informasi yang sama sehingga korban tidak mengalami trauma berulang.

Dari berbagai terobosan tersebut terlihat jelas perubahan dalam politik hukum pemerintah dan DPR yang menggunakan data berbasis bukti dan keberpihakan terhadap korban.

* Penulis adalah kordinaor Advokasi Kebijakan Nasional, Asosiasi LBH APIK Indonesia/ Direktur LBH APIK Jabar dan anggota Tim Eksekutif JKP3 & Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com