Menurut Agus, harusnya Amaq Sinta yang sudah membunuh dua pelaku karena demi membela diri dilindungi dari hukum (Kompas.com, 16 April 2022).
Pengambilalihan yang dilakukan Polda NTB harusnya juga diikuti dengan gelar perkara dengan mengundang kejaksaan, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Pendapat mereka penting untuk memperjelas apakah kasus Amaq layak ditindaklanjuti atau tidak. Legitimasi masyarakat akan menjadi dasar langkah Polda NTB selanjutnya.
Jika cara ini ditempuh Polda NTB dan nantinya dilaksanakan di tingkat Polres Lombok Tengah akan menjadikan hukum normatif yang diterapkan memiliki pengkayaan dan penguatan aspek hukum dari juridis, sosial,dan agama.
Hukum tidak lagi “kaku” dan semena-mena dipakai aparat untuk kelengkapan konstruksi perkara, tetapi menjadi hukum yang hidup dan mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hakiki.
Terobosan hukum untuk memperkokoh hukum selama ini kerap diabaikan. Akibatnya hamba wet seperti memakai kacamata kuda tanpa mau melirik atau melongok aspek-aspek kemanusian dan keadilan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Bicara tentang kasus hukum “nyentrik bin aneh” yang terjadi di tanah air memang terkadang membuat kita terpingkal-pingkal.
Masih ingat dengan nenek Asyani yang menebang kayu jati miliknya sendiri malah dituduh mengambil milik Perhutani dan dipenjara?
Tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Situbondo terhadap nenek renta berusia 63 tahun karena menebang pohon jati yang tumbuh di rumahnya adalah penjara selama 1 tahun 8 bulan dan denda Rp 500 juta (Liputan6.com, 23 April 2015).
Kasus lain, nenek Minah yang mencuri tiga kakao karena kelaparan di sebuah perkebunan di Purwokerto, Jawa Tengah harus menebusnya dengan ganjaran vonis penjara 1 tahun 15 hari penjara (Kompas.com, 21 Januari 2021).
Seorang pelajar SMAN 3 Palu yang ketahuan mengambil sendal seharga Rp 30.000 milik anggota Polri dituntut dengan hukuman 5 tahun penjara (Detik.com, 21 Desember 2011).
Demikian juga dengan keahlian seorang pria lulusan SD yang juga penggemar elektronika merakit televisi dari piranti bekas, malah dipenjara karena dituduh menjual barang elektronika tidak berstandar (Tribunnews.com, 11 Januari 2016).
Dalam skala yang lebih besar, kepemilikan sah atas PT Tonia Mitra Sejahtera ternyata bisa “ditelikung” dengan pemalsuan akta perusahaan dan dijual ke “penggede”.
Kasus pemalsuan akta perusahaan yang dilakukan Amran Yunus sudah “inkrah” dan Amran sudah masuk penjara tetapi nyatanya aktor intelektualnya tetap bebas menambang di lahan orang lain yang memiliki alas bukti yang sah.
Kasus “besar” yang terpendam ini, menjadi ujian besar tentang pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara.
Kerap hukum kita begitu tajam ke bawah tetapi “letoy” ke atas. Hukum begitu kejam dan sadis diterapkan kepada Amaq Sinta, nenek Asyani, nenek Minah, pencuri 3 buah kakao, perakit televisi bekas, pelajar pencuri sendal dan pemilik sah PT Tonia Mitra Sejahtera.
Sementara ke pencuri kakap “berdasi”, oknum tentara atau polisi, pejabat tinggi hukum menjadi sambil lalu dan ala kadarnya diterapkan.
Kepada begal-begal “kecil’ saja kita begitu pemisif, sementara kepada begal-begas kelas kakap betapa kita “muliakan”.
Bisa jadi cerita tentang begal memang tidak ada habisnya di negeri yang mengaku sangat Pancasilais ini.
“Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di atasnya. Berani menegakkan keadilan, walau mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian.” – Buya Hamka.
Baca juga: Kabareskrim Nilai Korban Begal yang Jadi Tersangka di NTB Harusnya Dilindungi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.