Melihat hal ini, peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, menilai bahwa munculnya dukungan perpanjangan masa jabatan presiden tak lepas dari usulan penundaan pemilu yang digaungkan sejumlah elite partai politik.
Sebab, jika pemilu ditunda, sudah pasti masa jabatan presiden menjadi lebih lama.
Baca juga: Membedah Kewajiban dan Larangan Kepala Desa dalam Isu Jokowi 3 Periode
Bawono pun menilai bahwa ada upaya dari para elite politik untuk terus menyuarakan usulan penundaan pemilu. Upaya itu kini dijalankan melalui deklarasi dukungan para kepala daerah.
"Gerakan penundaan Pemilu 2024 ini sedang berusaha secara sistematis garap di tingkat grass root, agar seolah-olah aspirasi ini datang dari bawah," kata Bawono kepada Kompas.com, Rabu (30/3/2022).
Menurut Bawono, elite politik yang berkepentingan akan terus berupaya merealisasikan wacana penundaan pemilu.
Oleh karenanya, para akademisi, ahli hukum, dan para pegiat pemilu harus terus menjaga ingatan publik agar tidak lengah terhadap manuver dari elite-elite pengusung wacana ini.
Baca juga: Kepala Desa Teriakkan Jokowi 3 Periode, Ngabalin: Biar Saja, Jangan Dihalangi
Selain itu, lanjut dia, penting bagi Presiden Jokowi untuk menyampaikan ketegasannya terhadap isu yang telah berulang kali mengemuka ini.
"Kalau memang presiden tidak memiliki keinginan sama sekali sedikit pun bagi perpanjangan masa jabatan atau juga penundaan pemilu maka ketegasan sikap itu harus ditunjukkan," tutur Bawono.
Ditinjau dari segi hukum, ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra telah mengemukakan bahwa penundaan pemilu tidak memiliki dasar hukum yang diatur konstitusi.
Yusril menjelaskan, Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Jadi, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," kata Yusril dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Penundaan pemilu juga disinyalir akan memunculkan pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.
Adapun penyelenggara negara yang dimaksud adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam pemilu.
Baca juga: 5 Skenario Terburuk jika Pemilu Ditunda Menurut Yusril
"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya 'ilegal' alias 'tidak sah' atau 'tidak legitimate'." jelas Yusril.
Sementara, pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan, wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi.
"Ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan. Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi," kata Denny dalam keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).
Dalam teori ketatanegaraan, ia menjelaskan, pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, tetapi alasannya harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menyebutkan, hal itu bisa diukur dari dampak tindakan pelanggaran konstitusi semata-mata demi menyelamatkan negara.
Indikator lainnya adalah tetap adanya pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.
"Maka, dengan parameter demikian, menunda Pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah," ujar Denny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.