Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Ibu Antre Minyak Goreng, Bapak Antre Solar, Partai Antre Jabatan

Kompas.com - 28/03/2022, 09:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Walau PAN termasuk partai yang “telat” dan sedikit keluar “keringat” karena posisi politiknya di era rezim Joko Widodo, tak urung dukungan PAN harus dikonversi menjadi “kursi” menteri.

Seperti dilema dari arsitektur koalisi, bergabungnya PAN akan menguatkan dukungan politik di parlemen.

Tetapi masuknya PAN dalam gerbong koalisi justru mengganggu soliditas koalisi “gemuk bahenol” pendukung Jokowi – Amin.

Jelas terlihat dari ancaman Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang tidak ingin ada “perang” antara Ukraina dengan Rusia jika PAN diakomodasi masuk kabinet, tetapi akan mengurangi jatah menteri yang telah diduduki PKB (Kompas.com, 24 Maret 2022).

Ungkapan perang Ukraina dengan Rusia serta mempersilahkan PAN masuk kabinet asal tidak menggerogoti jatah kursi menteri PKB dari Gus Imin – sapaan akrab Muhaimin Iskandar ini – jelas menjadi indikator “keserakahan” elite partai.

Dua partai lain dari pendukung koalisi Jokowi-Amin seperti PDI Perjuangan dan Nasdem justru lebih “soft” dengan menyerukan reshuffle adalah hak prerogatif Jokowi dan dapat dipastikan jelang reshuffle para ketua umum partai koalisi akan diajak rembug politik oleh Presiden Jokowi (Kompas.com, 27 Maret 2022).

Melihat kengototan para elite politik, antara yang ingin “kebelet” masuk kabinet dan yang “ogah” kehilangan “kursi” menteri di kabinet semakin menyiratkan aroma kontestasi pemilu 2024 sudah semakin dekat.

Saling sikut, saling beradu argumen dan saling mencari muka ke Presiden menjadi jamak terlihat.

Alih-alih memberi solusi terjadinya kelangkaan minyak goreng dan solar setelah sebelumnya harga kedelai menggila di pasaran, mereka justru ”menikmati” kondisi kelangkaan ini menjadi advantage politik.

Jika ada menteri dianggap tidak becus mengendalikan harga minyak goreng atau atau ada menteri yang kebingungan dengan ketersediaan solar, boleh jadi harapan mengisi pos menteri-menteri tersebut semakin membuncah.

Ee.. dayohe teko…ee gelarno kloso …
ee.. klasane bedah…ee tambalno jadah..
ee.. jadahe mambu .. ee pakakno asu…
ee..asune mati …ee guwakno kali..
ee.. kaline banjir.. ee guwak neng pinggir..

Tembang Jawa Dayohe Teko begitu kerap saya nyanyikan waktu bocah di Kota Malang, Jawa Timur di paruh 1970 – 1975.

Tembang tersebut jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya begini: ada tamu datang, jangan lupa hamparkan tikar.

Ketika tikarnya robek maka tambalah dengan ketan. Ketika ketannya bau, berikan saja ke anjing.

Dan ketika anjingnya mati, lemparkan saja ke sungai. Dan jika sungainya banjir, buang saja di pinggirnya.

Sejatinya, tembang tersebut sarat ajaran dan sindirin bahwa manusia yang serakah itu juga kerap tidak sadar dengan perbuatannya sendiri. Saling menyalahkan orang lain, dan tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu.

Kehadiran tamu yang seharusnya disambut dengan ramah malah sang tuan rumah menyepelekan tamu dengan berkutat pada kegiatan yang tidak terpuji, yaitu membuang “bangkai anjing”.

Ke sungai pula walau tengah dilanda banjir.

Salah kaprah kelangkaan minyak goreng dan solar serta saling berebut kursi menteri menjadi semakin jelas wajah-wajah penuh nafsu para politisi kita.

Fokus dan energi bangsa kita bukan dihabiskan untuk mengurangi beban kehidupan rakyat, tetapi lebih ditumpahkan untuk urusan bagi-bagi kekuasaan.

Sekali lagi, persetan dengan orang susah. Minyak goreng langka dan solar susah dicari, yang penting asyik....asyik dapat jabatan menteri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com