Warga Rembang, Jawa Tengah, misalnya, rela antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng curah. Setiap pembelian dibatasi maksimal 18 liter.
Sementara di Yogyakarta, aparat kepolisian dikerahkan untuk mengatur antrean warga yang hendak membeli minyah goreng curah. Setiap warga dibatasi maksimal pembelian hanya lima liter (Kompas.com, 27 Maret 2022).
Selama kurun waktu empat bulan belakangan ini, lonjakan harga minyak goreng di tanah air melesat tanpa kendali.
Bahkan dipastikan, sejak dua bulan terakhir kenaikan harga minyak goreng ikut memberi andil terhadap inflasi.
Melesatnya harga minyak goreng di negeri yang kaya sawit menjadi ironi mengingat pasokan minyak sawit di tanah air masih melimpah.
Masyarakat dipaksa membeli minyak goreng di harga impor. Ujung-ujungnya pemerintah menggelontarkan fulus subsidi Rp 3,6 triliun untuk penyediaan minyak goreng murah di harga Rp 14.000 per liter (Kompas.com, 19 Februari 2022).
Sudah mendapat injeksi subsidi tidak otomatis ketersedian minyak goreng di pasaran menjadi berlimpah.
Justru rak-rak penjualan minyak goreng di berbagai gerai di penjuru tanah air menjadi kosong melompong.
Sejak awal Februari 2022 hingga sekarang ini, saya berkeliling ke berbagai provinsi di tanah air. Mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi Tenggara dan Banda Aceh, kondisi ketersedian minyak goreng memang sami mawon.
Harga minyak goreng murah hanya ada di televisi dan media. Di lapangan memang minyak goreng langka dan jika pun ada, masyarakat harus rela antre.
Tidak hanya minyak goreng, di berbagai daerah solar kini susah didapat. Minyak goreng dan solar sudah seperti sahabat karib, dua-duanya ghosting bersama.
Menurut catatan Kompas, kelangkaan solar sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa pekan terakhir ini. Bahkan di sejumlah daerah kelangkaan solar sudah terjadi berbulan-bulan lamanya.
Untuk mendapatkan solar, para pengemudi kendaraan harus berkeliling kota mencari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang masih memiliki stok. Para sopir harus antre karena langkanya solar.
Di Kota Bogor, Jawa Barat, misalnya, solar sudah susah dicari beberapa hari belakangan ini. Tingginya permintaan dari pengendara membuat stok solar menjadi cepat habis (Kompas.com, 28 Maret 2022).
Tidak hanya di Bogor, di Palembang Sumatera Selatan pun sejumlah SPBU tampak antrean kendaraan mengular demi mendapatkan solar.
Padahal BPH Migas sejak 2022 telah menugaskan PT Pertamina Patra Niaga dan PT AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar.
Penetapan kuota ini tentunya telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.
Apabila terjadi peningkatan kebutuhan atau gangguan pasokan di suatu daerah, maka Pertamina Patra Niaga dan AKR Coporindo dapat melakukan penyesuaian kuota antarpenyalur di daerah yang sama sepanjang tidak memengaruhi jumlah total kuota daerah tersebut (Kompas.com, 28 Maret 2022).
Dan sepertinya, mekanisme tersebut yang tidak jalan di lapangan. Terasa simple di atas kertas, tetapi berantakan di lapangan. Dan ini kerap terjadi.
Jika minyak goreng dan solar begitu berpengaruh dengan hajat hidup orang banyak, tidak demikian halnya dengan “kelangkaan” kursi menteri di sejumlah partai politik.
Kelangkaan jatah kursi menteri hanya melanda di elite-elite partai saja. Para elite politik semakin menunjukkan tabiat asli dan syahwat politiknya jelang tahun panas 2024.
Masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam gerbong koalisi tentu membutuhkan akomodasi politik berupa posisi di kementerian dan aneka jabatan.
Kredo tidak ada makan siang yang “gretongan” apalagi untuk sarapan dan makan malam, jelas berlaku di elite partai politik.