PEMERINTAH Indonesia berketetapan hati mengundang Rusia hadir di Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20, di Washington DC, AS, 20 April mendatang.
Ini adalah pertemuan G20 pertama pascainvasi Rusia ke Ukraina, 24 Februari lalu.
Banyak pihak menilai, pertemuan ini menjadi batu ujian pertama bagi diplomasi Indonesia.
Di tengah kecaman internasional terhadap invasi Rusia ke Ukraina, tak pelak undangan itu memantik reaksi dari AS dan sekutu Baratnya.
Ada indikasi AS sedang melobby sekutunya untuk mengucilkan Rusia dari berbagai organisasi internasional. Termasuk di G20.
Namun Indonesia bersikukuh tetap mengundang Rusia. Bagaimana menakar kehadiran Rusia di G20 dalam perspektif diplomasi multilateral dan kepentingan Indonesia?
Kehadiran Rusia dalam rangkaian perhelatan G20 setidaknya dapat dipindai dari tiga aspek amatan.
Baca juga: Prinsip Bebas-Aktif dalam Konflik Rusia-Ukraina
Pertama, aspek substansi. Sejak awal dibentuk pada 1999 (kemudian ditingkatkan representasinya ke level kepala negara pada 2008), G20 dimaksudkan sebagai forum dialog multilateral yang membahas dan mengkoordinasikan kebijakan ekonomi internasional, khususnya terkait stabilitas keuangan internasional, perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat internasional terlanjur memahami bahwa G20 adalah forum multilateral yang membahas isu ekonomi dan keuangan internasional.
Pernah memang G20 terombang-ambing mempertimbangkan kehadiran Rusia di G20. Kala itu AS dan sekutu Baratnya juga berusaha menghalangi Rusia hadir di KTT G20 di Brisbane, Australia, 2014.
Alasannya: karena Rusia menduduki Crimea, Luhanks dan Donetsk, wilayah selatan dan timur Ukraina.
Tapi Putin tetap hadir – meski pulang lebih cepat. Ini tentu atas undangan Australia sebagai tuan rumah.
Di sini terlihat bahwa ada preseden di G20: negara tuan rumah tetap mengundang Rusia meski ada masalah politik.
Dalam pakem diplomasi multilateral, preseden sering dijadikan acuan dalam mengambil keputusan bersama.
Pertimbangan semacam ini sangat mungkin digunakan Indonesia untuk tetap mengundang Rusia dalam rangkaian acara G20.
Baca juga: Ukraina, Sang Pelanduk di Bumi Eropa
Kedua, aspek prinsip diplomasi multilateral. Secara teoretik, ada tiga prinsip diplomasi multilateral: persamaan hak (indivisibility), non-diskriminatif (non-discrimination) dan timbal-balik jangka panjang (diffuse reciprocity).
Persamaan hak bermakna setiap anggota punya hak yang sama untuk ikut dalam deliberasi permasalahan. Dalam konteks G20, ini berarti Rusia berhak untuk ikut di setiap pembahasan isu di G20.
Non-diskriminatif (non-discrimination) merujuk kepada perlakuan yang sama terhadap semua anggota.
Setiap negara anggota berhak menerima perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada anggota lain.
Jika undangan diberikan kepada semua negara anggota G20, Rusia juga harus diundang.
Resiprositas (perlakuan timbal balik) dalam diplomasi adalah lumrah. Dalam diplomasi bilateral, resiprositas bisa dinikmati saat itu juga ketika transaksi atau deal politik disetujui.
Berbeda dengan diplomasi bilateral, resiprositas dalam diplomasi multilateral bersifat jangka panjang.
Jika AS dan sekutu Baratnya memberikan konsesi bagi Rusia untuk hadir di G20 saat ini, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang (entah kapan) Rusia memberikan konsesi kepada AS dan sekutunya sesuai kepentingan politik mereka.
Ketiga, dari perspektif diplomasi Indonesia. Ketika menyetujui resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia telah menunjukkan kemandirian dalam memutuskan sikap politiknya.
Sikap politik yang diinspirasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi, yang dimanifestasikan dalam prinsip bebas-aktif dan non-blok.
Prinsip bebas-aktif dan non-blok Indonesia bukan berarti netral, bukan tidak memihak. Bebas-aktif Indonesia tentu berpihak. Berpihak kepada kepentingan nasional.
Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, kepentingan nasional Indonesia ada tiga: menghentikan kekerasan, solusi damai dan dialog, serta akses bantuan kemanusiaan.
Karena ketiga kepentingan nasional itu sudah terefleksikan dengan baik di resolusi, Indonesia mendukung resolusi itu.
Di sini jelas, dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB didasarkan atas kepentingan nasional. Bukan atas tekanan negara lain, apalagi mengekor AS. Itulah manifestasi kemandirian politik luar negeri Indonesia.
Sekali lagi, Indonesia menunjukkan kemandiriannya. Meski ada tekanan dari beberapa negara, Indonesia mantap hati mengundang Rusia. Sikap Indonesia konsisten dengan prinsip bebas-aktif dan non-blok.
Dalam pakem diplomatik, sikap Indonesia ini sudah sesuai dengan prinsip diplomasi multilateral yang selama ini menjadi pegangan para diplomat.
Dengan berpedoman pada karakter dan prinsip diplomasi multilateral, sejatinya diplomasi Indonesia itu rasional.
Tidak didorong oleh pertimbangan suka atau tidak (like and dislike) terhadap negara anggota tertentu.
Dengan kemandirian politik yang bebas-aktif, Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa mengundang Rusia ke G20 adalah keputusan yang “diplomatically proper and politically correct”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.