DRAMA kelangkaan minyak goreng berakhir sudah. Namun ibarat sebuah cerita, drama ini berakhir ‘sad ending’.
Pasalnya, meski sudah banjir dan melimpah di pasaran, minyak goreng harganya meroket dan naik tajam.
Kelangkaan minyak goreng (mungkin) sebelumnya tak pernah terpikirkan. Baik oleh masyarakat maupun para pengambil kebijakan.
Karena sebagai salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia, mustahil minyak goreng akan langka di Indonesia.
Namun, fakta berbicara berbeda. Minyak goreng tiba-tiba lenyap dan menghilang dari pasaran.
Tak hanya di pasar-pasar tradisional, minyak goreng juga menghilang dari pasar modern dan toko ritel. Untuk mendapatkan komoditas ini, warga harus berebut dan rela antre lama.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) beralasan, minyak goreng langka di pasaran karena jatah rakyat ‘diserobot’ pihak yang tidak berhak.
Kemendag menuding, industri menggunakan minyak goreng yang seharusnya dialokasikan untuk rakyat kebanyakan.
Kemendag berdalih, ketersediaan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng yang terkumpul dalam kebijakan domestic market obligation (DMO) cukup besar.
Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya mencapai 8,02 juta ton.
Karena itu, seharusnya minyak goreng melimpah dan tak menjadi barang langka.
Selain itu, Kemendag juga berdalih kelangkaan minyak goreng disebabkan karena produsen lebih memilih menjual minyak goreng ke luar negeri karena harganya lebih tinggi.
Pandemi juga dituding menjadi biang keladi karena menyebabkan gangguan logistik, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.
Selain itu Kemendag curiga warga menimbun minyak goreng di dapur sehingga komoditas ini menjadi langka.
Invasi Rusia ke Ukraina juga dituding menjadi biang kelangkaan minyak goreng di Indonesia.