Sudomo mengatakan, saat itu setiap warga negara yang dianggap memenuhi syarat diizinkan mencalonkan diri maupun mengajukan calon presiden. Menurut dia, masalah yang utama adalah apakah fraksi-fraksi di DPR mendukung pencalonan itu.
Sebab sistem pencalonan dan pemilihan presiden Indonesia di masa Orde Baru adalah melalui perwakilan fraksi-fraksi di DPR, dan bukan pemilihan langsung seperti saat ini.
Pada masa kampanye pemilu 1992, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Soerjadi mengatakan harus diusulkan pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode.
Baca juga: Mahfud: Pemerintah Tak Pernah Bahas Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk periode lima tahun kedua, bila dinilai baik oleh rakyat," kata Soerjadi dalam kampanye putaran pertama di Lapangan PORS Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 12 Mei 1992.
Akan tetapi, Presiden Soeharto kembali terpilih sebagai presiden pada pemilu 1992 dan 1997.
Setelah itu kelompok masyarakat sipil mengusulkan supaya DPR mengajukan rancangan undang-undang pembatasan masa jabatan presiden melalui hak inisiatif. Setahun kemudian, fraksi ABRI di DPR mengatakan saat itu waktunya belum tepat untuk membahas soal pembatasan masa jabatan presiden.
Baca juga: Ditolak Jokowi, Mengapa Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Terus Bergulir?
"Saya setuju kekuasaan presiden tidak tak terbatas. Tapi kami tidak setuju perlunya ada UU tentang pembatasan masa jabatan presiden," kata Wakil Ketua Fraksi ABRI Koordinator Politik Keamanan RK Sembiring pada 1993.
Peluang untuk meloloskan RUU pembatasan masa jabatan presiden saat itu menurut Sembiring saat itu sangat kecil. Sebab, selain harus mendapatkan syarat minimal dukungan, RUU itu juga harus mendapat persetujuan presiden.
"Jadi buat apa kita membuat Rancangan Undang-undang, kalau kita tahu Presiden tidak akan setuju," ujar Sembiring.
Upaya membatasi masa jabatan presiden baru terwujud setelah gerakan masyarakat sipil membuat Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai presiden dalam peristiwa Reformasi 1998. Setelahnya DPR dan MPR menyetujui membahas pembatasan masa jabatan presiden melalui Sidang Istimewa dan akhirnya melakukan amandemen UUD 1945.
Pembatasan masa jabatan presiden itu menjadi salah satu amanat gerakan Reformasi 1998 supaya tidak ada lagi pemimpin yang sewenang-wenang saat berkuasa dan menghindari munculnya gaya kepemimpinan yang mengarah kepada kediktatoran seperti Soeharto.
Sumber:
Kompas edisi 27 Mei 1990: "Menko Polkam Sudomo: Presiden Soeharto Tak Ingin Jabatan Seumur Hidup".
Kompas edisi 13 Mei 1992: "PPDI Usulkan Perubahan Masa Jabatan Presiden Mendatang".
Kompas edisi 4 September 1993: "Belum Saatnya Pembatasan Masa Jabatan Presiden".
Kompas edisi 29 Agustus 1997: "Semua Kekuatan Sospol akan Calonkan Pak Harto".
Kompas edisi 2 September 1997: "ABRI juga dukung Pak Harto".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.