Ia menegaskan, tidak ada survei yang mengonfirmasi big data yang disebut Luhut tersebut. Sebaliknya, hampir semua lembaga survei menyatakan mayoritas masyarakat tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu.
"Semua polster tidak mengonfirmasi itu. Setahun lalu, saya melakukan survei dan 80 persen menolak perpanjangan masa jabatan. Tapi kemudian digunakan bahasa yang sumir, big data," ucapnya.
Wacana yang kehilangan pamor
Sementara itu, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengkritik wacana penundaan pemilu justru telah kehilangan pemor.
Hilangnya pamor itu, kata dia, karena penolakan publik justru relatif kencang dibandingkan yang mendukung.
"Publik menolak, peta politik di Senayan berubah total," kata Arya dalam diskusi Total Politik, Minggu.
Senada dengan Khoirul Umam, Arya juga menggunakan hasil survei opini publik dari lembaga survei kredibel.
Ia mengatakan, publik memiliki kecenderungan untuk menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024.
"Survei opini publik hasilnya sudah jelas. Kalau dari lembaga-lembaga big data kredibel, banyak orang yang enggak setuju," tambahnya.
Baca juga: Tanda Tanya soal Klaim Big Data Cak Imin di Wacana Pemilu Ditunda
Dugaan kepentingan elite
Tak hanya pengamat, kritik juga terus dilancarkan oleh partai politik yang menolak wacana penundaan pemilu.
Partai Demokrat, misalnya, menilai wacana tersebut telah disusun dengan rapi bak sebuah panggung orkestrasi.
Demokrat menduga mereka yang menyusun penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden adalah kalangan elite, baik pejabat maupun sejumlah elite parpol koalisi.
"Kami cermati, ada orkestrasi secara terukur, hasil pemufakatan jahat segelintir elite, yang ingin melanggengkan kekuasaan," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra dalam keterangannya, Minggu.
Dia mempertanyakan klaim wacana penundaan pemilu yang disuarakan para elite adalah atas kehendak rakyat.
Klaim itu semisal menggunakan narasi pengusaha meminta pemilu ditunda karena khawatir mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Baca juga: Wacana Penundaan Pemilu Dinilai Telah Kehilangan Pamor
Selain itu, Herzaky juga mempertanyakan adanya klaim bahwa pemilu ditunda merupakan usulan dari seorang petani.
"Lalu mendadak satu orang petani mengusulkan ini dan diekspos di publik. Padahal, rakyat negeri ini 267 juta jiwa," ucap Herzaky.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.