JAKARTA, KOMPAS.com - Peringatan penerbitan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kembali membawa kenangan tonggak sejarah lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Jumat (11/3/2022) kemarin menjadi 56 tahun peringatan dikeluarkannya Supersemar yang naskah aslinya hingga saat ini masih belum ditemukan.
Supersemar ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.
Surat ini berisi mandat dari Soekarno kepada Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) untuk mengamankan pemerintahan karena terjadinya ketidakstabilan situasi politik buntut peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI.
Sejak Supersemar terbit, Soeharto mengambil alih kekuasaan. Sebab ia menafsirkan "surat sakti" tersebut menjadi alat legitimasi suksesi kepemimpinan negara dari Soekarno untuk dirinya.
Supersemar dianggap sebagai penyerahan mandat kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Baca juga: Supersemar, Taman Mini, dan Murka Soeharto
Sementara bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.
Namun salah satu jenderal yang membawa Supersemar dari Soekarno yang berada di Istana Bogor ke Soeharto di Jakarta, berkesimpulan Soekarno telah menyerahkan kekuasaannya.
Adapun jenderal yang menganggap Supersemar sebagai pengalihan kekuasaan adalah Brigjen Amir Machmud yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya.
Amir Machmud menjadi satu dari tiga jenderal suruhan Soeharto untuk menghadap ke Soekarno. Dua jenderal lainnya adalah Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).
Sejak peristiwa G30S/PKI, terjadi gejolak di dalam negeri. Ini menyusul tudingan PKI sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal.
Unjuk rasa banyak terjadi. Ekonomi nasional pun ikut tergerus.
Hingga puncaknya pada 11 Maret 1966, mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara. Demo ini didukung tentara.
Baca juga: Wawancara Asvi Warman Adam: Supersemar Mungkin Blunder Bung Karno
Oleh karena itu, Soerharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.
Mengutip arsip pemberitaan Harian Kompas, permintaan itu dititipkan Soeharto lewat Amir Machmud, M Yusuf, dan Basuki Rachmat.
Permintaan Soeharto pun dianggap biasa oleh Soekarno. Oleh sebab itu ia memandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.
Hanya, interpretasi Soeharto berbeda mengenai isi dari Supersemar.
Karena dianggap sebagai mandat pemberian kekuasaan untuknya, Soeharto menggunakan Supersemar secara serta-merta dengan melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.