SAAT bungsu saya bersekolah SMA di Buckeye School, Ohio, Amerika Serikat, 2019 lalu, dia begitu berkecil hati dengan tinggi badannya dibanding rekan-rekan satu sekolahnya.
Dia merasa “kontet” alias cebol dibandingkan temen-temen sekelasnya yang jangkung menjulang.
Padahal tinggi badan putri saya ini 1,71 meter. Putri saya begitu jengah mengingat Indonesia menduduki peringkat teratas untuk penduduk terpendek atau stunted di dunia dengan ukuran rata-rata tinggi penduduknya 1,58 meter.
Untuk posisi pertama negara dengan penduduk dengan rata-rata tinggi badan tertinggi di dunia adalah Bosnia & Harzegovania. Tinggi rata-rata warga Bosnia mencapai 1,838 meter (Tribunnews.com, 28 November 2019)
Mendengar kata stunting, banyak orang belum paham mengenai selarik kata ini. Saat saya memiliki dua balita di dua dekade yang lalu, saya belum pernah mendengar kata stunting saat beberapa kali mengantar istri ke dokter kandungan, bahkan saat istri melahirkan.
Saya baru ngeh dengan stunting saat anak saya yang pertama telah berkuliah di Melbourne, Australia dan anak bungsu saya mengambil studi di Institut Teknologi 10 November Surabaya usai bersekolah SMA di AS.
Saya baru paham dengan stunting, setelah Presiden Joko Widodo begitu “galak” dan “ngotot” ingin menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi, yaitu 24,4 persen.
Angka ini berarti 1 di antara 4 anak yang bermukim di tanah air dikategorikan mengalami stunting.
Torehan angka stunting ini masih di atas angka standar yang ditoleransi Badan Kesehatan Dunia atau WHO, yakni di bawah 20 persen.
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya. Anak yang tergolong stunting biasanya pendek, walau pendek belum tentu stunting serta gangguan kecerdasan.
Probematika stunting akan menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin buruk, bahkan stunting dapat menyebabkan kemiskinan antargenerasi yang berkelanjutan.
Selain itu, stunting dapat menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan otak dan menjadi pemicu penderitanya terkena penyakit metabolik seperti diabetes dan penyakit yang berkaitan dengan jantung pada masa dewasa si anak.
Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam kedepannya.
Ringkasnya, generasi stunting akan kesulitan untuk diterima sebagai anggota militer dan kepolisian.
Generasi stunting akan mengalami kendala jika ingin menjadi olahragawan yang sukses di cabang olahraga bola basket dan bola volley, misalnya.
Perenang dengan tinggi badan yang maksimal akan lebih cepat menyentuh garis finish ketimbang perenang bertinggi badan pendek.
Generasi stunting akan kesulitan untuk diterima menjadi pramugari atau foto model. Begitu banyak peluang dan kesempatan yang tertutup akibat stunting.
Saat membuka Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana atau Program Bangga Kencana di Jakarta, 22 Maret 2022 lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut kerugian akibat stunting bisa mencapai 2 hingga 3 persen dari Pendapatan Bruto Domestik (PDB) setiap tahunnya.
Jika PDB Indonesia tahun 2020 sebesar Rp 15 ribu triliun, maka potensi hilangnya keriguan akibat stunting sebesar Rp 450 triliun.
Berdasarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia.