Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai putusan MA memangkas vonis Edhy absurd.
Ia menuturkan jika Edhy bekerja dengan baik mestinya ia tidak menerima suap dan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam pandangan Kurnia, majelis hakim kasasi tidak melihat tiga faktor yang mestinya membuat hukuman Edhy diperberat.
Pertama, tindakan korupsinya dilakukan ditengah memburuknya situasi kesehatan dan perekonomian akibat pandemi.
“Bagaimana mungkin hakim mengatakan terdakwa telah memberi harapan kepada masyarakat, sedangkan pada waktu yang sama Edhy melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi Covid-19,” paparnya.
Baca juga: KPK Eksekusi Eks Staf Istri Edhy Prabowo ke Lapas Sukamiskin
Kedua, majelis hakim mengabaikan ketentuan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pasal itu disebutkan pejabat yang menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan padanya untuk melakukan suatu tindak pidana mesti diperberat hukumannya.
Faktor terakhir, lanjut Kurnia, pemangkasan pidana penjara ini janggal karena hanya menempatkan hukuman Edhy lebih berat 6 bulan ketimbang anak buahnya, Amiril Mukminin.
Padahal Edhy merupakan pelaku utama penerimaan suap tersebut.
“Terlebih dengan kejahatan korupsi yang ia lakukan Edhy telah melanggar sumpah jabatannya sendiri,” ucap Kurnia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.