JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai ada konsekuensi yang harus diterima jika UUD 1945 diamendemen untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
Dalam pandangannya, jika amendemen dilakukan melalui MPR maka kedudukannya akan lebih tinggi dibandingkan presiden.
“Konsekuensinya MPR punya kewenangan menyandang fungsi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,” tutur Margarito pada Kompas.com, Selasa (8/3/2022).
“Jadi status MPR akan berubah, semula merupakan lembaga yang setara dengan presiden menjadi lembaga yang lebih tinggi. Menyandang fungsi kedudukan sebagai lembaga tertinggi maka logis MPR diberi kewenangan memberhentikan presiden dengan alasan politik,” imbuh dia.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Perpanjangan Masa Jabatan Merusak Demokrasi dan Jerumuskan Presiden
Di sisi lain, Margarito menuturkan, ada banyak hal yang mesti dipikirkan jika wacana penambahan masa jabatan presiden hendak direalisasikan.
Pertama, jabatan presiden diberikan pada seseorang melalui proses demokrasi yaitu pemilihan umum.
“Jadi kalau mau memperpanjang, siapa yang akan memperpanjang? Jangan lupa presiden itu kan dipilih secara langsung,” ucap dia.
Kedua, persoalan berapa lama masa jabatan itu akan diperpanjang.
“Apakah dua tahun? Tiga tahun? Atau lima tahun? Kalau lima tahun kenapa tidak sekalian dibuat masa jabatan presiden tiga periode?” sebutnya.
Margarito mengatakan, amendemen UUD 1945 sangat mungkin dilakukan, tetapi tergantung siapa pihak yang mengusulkan.
Sampai saat ini dirinya tak yakin wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu benar-benar diusulkan oleh tokoh-tokoh partai politik (parpol).
Baca juga: Mahfud: Pemerintah Tak Pernah Bahas Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Sebab, berbagai tokoh parpol dianggapnya tidak memiliki keberanian untuk mengambil inisiatif tersebut.
“Partai Golkar sekalipun takut disebut sebagai pengkhianat bangsa. Jangan lupa gagasan dasar perubahan UUD 1945 tahun 1999 untuk membatasi masa jabatan presiden diambil oleh Partai Golkar,” kata Margarito.
Ia pun berpendapat bahwa usulan perpanjangan masa jabatan justru berasal dari Presiden sendiri.
“Yang paling mungkin memimpin pertempuran politik atau usaha memperpanjang masa jabatan itu adalah Presiden. Apakah Presiden punya keberanian itu atau tidak? Kalau punya, Presiden harus siap menerima berbagai macam penilaian luar biasa kritis padanya,” imbuhnya.
Beberapa waktu belakangan muncul wacana untuk menunda pemilu 2024.
Wacana itu disampaikan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Baca juga: Jokowi Diminta Tak Biarkan Bola Liar Isu Perpanjangan Jabatan Presiden Terus Bergulir
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto mengaku mendapat masukan dari masyarakat untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Airlangga mengatakan mesti berdiskusi dengan petinggi parpol lainnya atas usulan masyarakat itu.
Jokowi sendiri telah merespons wacana itu pada Jumat (4/3/2022) di Istana Bogor, Jawa Barat.
Ia mengatakan hendak taat dan patuh pada konstitusi.
Terkait wacana perpanjangan masa jabatan, Jokowi menyampaikan bahwa siapa pun bebas menyampaikan usulannya.
“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu, dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” terang dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.