Indonesia memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan dan menjamin pelaksanaannya yang melindungi perempuan dari bentuk diskriminasi, termasuk di dalamnya kekerasan seksual.
Mengingat adanya RUU TPKS yang kini sedang digodok, ada ruang untuk meluruskan dan menyamakan terminologi kerja hukum yang lebih dini dalam penanganan peningkatan kasus KBGO.
Hal ini hanya bisa dilakukan jika KBGO sudah diakui sebagai kategori kejahatan di mata hukum.
Selain itu, untuk penanganan peningkatan kasus juga bisa didukung dengan pembentukan One-stop crisis center.
Institusi ini akan menjadi sistem yang memayungi koordinasi antarpihak yang menangani kasus kekerasan seksual, termasuk pemulihan penyintas dan saksi, yang didukung pula dengan adanya fasilitas pelayan terpadu.
Pengurus atau anggota dari center, yang terjun langsung dalam pendampingan para penyintas, bisa membantu melakukan capacity building untuk instansi kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan para aparat penegak hukum (APH) terkait lainnya.
APH harus menjadi prioritas dalam pelatihan mengingat institusi ini masih belum memiliki perspektif gender dan didominasi oleh laki-laki, sehingga bisa mempersulit proses penindakan pelaku dan pemulihan penyintas.
Selain itu, crisis center ini juga membantu penyintas agar tidak perlu diarahkan ke berbagai tempat untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan.
Mekanisme pelaporan yang ada saat ini, terlepas dari belum terbentuknya peraturan khusus, melibatkan beberapa institusi dengan keragaman birokrasi yang justru mempersulit penyintas kekerasan seksual.
Kita dapat melihat contoh peristiwa proses pelaporan kasus Luwu Timur: sudah harus melewati sejumlah birokrasi pelaporan ke Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2A) hingga kepolisian, tapi penyintasnya tak kunjung mendapat keadilan, bahkan tidak juga konseling kesehatan mental terhadap ketiga anaknya.
Layanan terpadu yang coba ditawarkan akan berisikan perwakilan dari instansi pemerintah, seperti P2TP2A dan kepolisian, hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di dalam satu atap yang sama.
Sehingga seorang penyintas cukup melapor melalui satu pintu untuk mendapatkan pendampingan hukum hingga penyedia konseling, seperti Yayasan Pulih yang sudah bekerja sama dengan LPSK.
Poin substansi ini belum terakomodasi dengan baik di dalam RUU TPKS. Walaupun sudah banyak pekerja hingga organisasi sukarela yang menawarkan diri melakukan pendampingan bagi para penyintas kekerasan seksual, namun pendampingan ini masih belum merata.
Dengan diakomodasinya substansi ini di dalam sebuah peraturan nasional, maka pemerintahan daerah tiap provinsi harus menyediakan one-stop crisis center di daerahnya.
Hal ini guna memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat yang hidup tidak hanya di perkotaan saja.
RUU TPKS memang merupakan langkah yang patut diapresiasi kehadirannya, namun beberapa aturan krusial lainnya terkait dengan klasifikasi dan penjelasan atas KGBO belum diakomodasi dengan baik.
Sedangkan rangkaian laporan yang telah diterbitkan baik dari Komnas Perempuan pun LBH Apik menunjukkan terus meningkatnya angka KBGO.
Beberapa tagar seperti #metoo, #SahkanRUUTPKS, #gerakbersama, #IndonesiaDaruratKekerasanSeksual membuktikan bahwa banyak lapisan masyarakat yang sadar akan pentingnya berdiri bersama para penyintas kekerasan seksual.
Hari ini kekerasan seksual bisa jadi cerita orang lain; besok atau lusa, bisa jadi cerita kita.
Berikut beberapa kontak lembaga layanan untuk melaporkan KGBO: