Jika Gisel yang selebritas saja masih rentan menjadi korban, apalagi mereka yang punya relasi kuasa lebih lemah.
Berbagai macam kasus malicious distribution yang terjadi pada pelajar perempuan punya risiko besar: dikeluarkan dari sekolah, sulit mendapatkan pekerjaan, hingga mendapat hukuman sosial seperti dilabel seperti pelacur.
Perempuan berpotensi menghadapi risiko besar saat berusaha meraih keadilan. Contohnya pada kasus Baiq Nuril, seorang guru yang dilecehkan secara seksual oleh atasannya.
Nuril mengunggah rekaman audio sebagai bukti kekerasan seksual yang dialaminya. Alih-alih mendapat perlindungan hukum, dia malah dijatuhkan tuntutan oleh jaksa melalui UU ITE pasal 27 ayat (1), yakni menyebarkan atau mentransmisikan konten kesusilaan.
Akibatnya Nuril divonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta.
Perbuatan seksual atau pelecehan seksual diatur dalam beberapa pasal, namun tidak ada pengaturan lebih lanjut, seperti tidak dijelaskannya kategorisasi kekerasan seksual secara daring.
Apakah, misalnya, online grooming (bujuk rayu) dan manipulasi janji menikahi seseorang demi melakukan hubungan intim dapat disebut kekerasan seksual?
Apakah dengan tersebarnya video hubungan seksual, seorang perempuan justru bisa disalahkan sebagai pelaku?
Apa indikator sebuah cuitan dalam media sosial diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual?
Siti Mazumah dari LBH Apik dalam salah satu webinar yang dilaksanakan oleh EngageMedia menegaskan bahwa KBGO belum diakui dalam kategori kejahatan ataupun sebagai istilah hukum.
Dengan begitu penanganan kasusnya bergantung pada personal polisi dan aparat hukum.
Dalam kesempatan yang sama, Ellen Kusuma dari SAFEnet menilai, adanya gagap terminologi dan ketidakselarasan pemahaman dalam penanganan hukum kasus KBGO.
Misalnya, jika dalam kamus KBGO terdapat istilah penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-consensual intimate images), dalam bahasa hukum Indonesia dikenal dengan “konten yang dianggap melanggar kesusilaan”.
Perbedaan definisi dan istilah yang digunakan dalam menanggapi KBGO disebabkan oleh perkembangan teknologi digital yang cepat dan tidak selaras dengan peningkatan kesadaran dan gerakan masyarakat sipil.
Sulitnya melakukan pelaporan dan pembuktian atas kekerasan seksual di tingkat hukum merupakan tantangan bagi penyintas.
Hukum harus mampu menyediakan alternatif pelaporan dan proses kasus secara online di tingkat kepolisian.
Selama ini, pelaporan kerap merugikan penyintas karena institusi kepolisian acap kali menyangsikan penuturan penyintas dalam penyelidikan dan membebankan pembuktian kepada penyintas.
Belum selesai beban mental dan psikis yang mereka alami, mereka harus berhadapan dengan mencari alur yang tepat untuk memperoleh keadilan.
Di tingkat pengadilan, kuasa jaksa yang sangat besar menyebabkan subjektivitasnya bisa memengaruhi hukuman yang dijatuhkan pada korban karena alasan moral atau terbukanya ruang interpretasi seluas-luasnya terhadap peraturan yang ada.
Seperti yang terjadi pada kasus Baiq Nuril, alih-alih adanya tindakan terhadap pelaku, penyintas yang melapor justru disanksi penjara dan denda.
Kealpaan aturan yang pro-penyintas kekerasan seksual merupakan sebuah kemunduran bagi Indonesia selaku negara yang turut meratifikasi Convention the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).