"Menyangkut manajemen di lapangan, karena seperti kemarin ada 6 juta dosis yang terpaksa kedaluwarsa. Seperti itu yang harus dikurangi. Pangkas birokrasi sehingga vaksin bisa langsung ke daerah untuk diberikan, dan tidak lama parkir di pusat," tuturnya.
"Laporan (vaksinasi) saat ini juga harus ditingkatkan juga supaya real time antara pusat dan daerah. Ini yang jadi kendala karena vaksin lama terparkir di pusat dan daerah yang membutuhkan jadi tidak terdistribusi," sambung Dikcy.
Tak hanya vaksinasi, masalah deteksi dini kasus Covid-19 juga harus mendapat perhatian lebih. Pemerintah sempat mengakui deteksi dini yang dilakukan pihaknya masih kurang optimal.
Dicky mengatakan, masalah deteksi dini dengan risiko kematian pasien berisiko tinggi sangat erat kaitannya.
Baca juga: Menkes: 1,1 Juta Dosis Vaksin Kedaluwarsa, Mayoritas dari Donasi Gratis
"Setidaknya 70-80% dengan prioritas kelompok risiko tinggi berkontribusi pada angka kematian dan parahnya sakit, jika deteksi dini baik, itu nggak akan terjadi," ucapnya.
"Bahwa kasus infeksinya turun, nanti kematiannya ketika ada pun tidak meningkat, tidak menjadi kontradiktif dengan kasus yang menurun tadi. Karena kita sudah bisa mendeteksinya dan mencegah sejak awal," imbuh Dicky.
Permasalahan kurang optimalnya deteksi dini disebut bukan hanya terjadi di Indonesia. Menurut Dicky, banyak negara akibat deteksi dininya rendah, menyebabkan kasus-kasus pasien berisiko tidak terdeteksi sehingga menimbulkan kematian.
"Kita harus berhati-hati karena tren kematiannya semakin meningkat menunjukkan banyak kasus infeksi di masyarakat yang tidak terdeteksi, ini juga akibat booster yang belum memadai," urai dia.
Baca juga: Epidemiolog: Testing, Tracing, dan Tracking Kunci Putus Penularan Covid-19 Varian Apa Pun
Dicky juga menyoroti karakter masyarakat Indonesia yang tidak mudah datang ke rumah sakit ketika sakit. Maka diperlukan upaya jemput bola dari Pemerintah, sebagai upaya dari peningkatan deteksi dini.
"Harus diantisipasi atau direspons dengan meningkatkan kunjungan rumah," tegas Dicky.
Soal subvarian BA.2 yang juga disebut dengan 'Son of Omicron' ini juga disebut WHO bisa menginfeksi orang yang sudah terkena Omicron BA.1.
Namun, WHO meyakini bahwa orang yang sudah terkena Omicron BA.1 memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik terhadap infeksi subvarian Omicron siluman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.