Ciri kedua dari subkultur pesantren adalah pola perilaku yang unik yang lahir dari sistem nilai unik di atas. Untuk hal ini Gus Dur mencontohkan pembagian waktu di pesantren berdasarkan pembagian shalat lima waktu.
Artinya di pesantren pembagian waktu mengikuti shalat lima waktu. Misalnya, setelah shalat shubuh mengadakan ngaji dengan kiai, demikian setelah shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isyak. Santri baru beristirahat setelah pengajian ba’da isyak, sehingga untuk “urusan rumah tangga” seperti mencuci baju tidak jarang dilakukan pada malam hari.
Semua pola perilaku tersebut dilakukan demi memusatkan kegiatan pada pengajian (pendidikan) yang merupakan inti kegiatan pesantren.
Dalam kaitan ini, pola perilaku tersebut didorong oleh suatu karakter keislaman yang disebut fikih-sufistik. Artinya, perilaku keagamaan yang bersifat fikih secara eksoterik, namun sufistik secara esoterik. Warga pesantren merupakan kaum Muslim yang sangat taat dengan syariah pada dimensi rasional, individual dan sosial. Akan tetapi menghayati syariah melalui pemahaman dan pengamalan tasawuf (spiritualitas) pada level psikologis.
Karakter fikih-sufistik yang berarti penggabungan dimensi eksetorik dan esoterik inilah yang membuat keislaman pesantren bersifat moderat dan dinamis, tidak sebagaimana kaum radikal dan teroris.
Misalnya, dalam rangka mengamalkan syariah, warga pesantren tidak harus mendirikan Negara Islam, karena pengamalan tersebut justru harus dilakukan dalam bentuk spiritualitas berupa pembersihan hati. Hal ini berbeda dengan kaum radikal yang mensyaratkan peran negara dalam penerapan syariah yang bersifat simbolik.
Moderatisme pesantren juga disebabkan oleh penggunaan filsafat hukum Islam (ushul fiqh) dan kaidah bahasa (ilmu al-nahwi wa al-sharfi) dalam memahami teks agama untuk merumuskan dan menerapkan syariah. Oleh karenanya, alih-alih memaksakan penegakan syariah sebagai konstitusi, warga pesantren lebih merumuskan dan menerapkan syariah berdasarkan prinsip-prinsip kebijaksanaan dalam tujuan utama syariah (maqashid al-syari’ah) itu sendiri.
Inilah yang membuat Kiai Wahid Hasyim misalnya, berkenan menghapus frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Penghapusan itu didasarkan oleh Kiai Wahid pada kaidah fikih: menghindari kerusakan lebih utama daripada mengejar kebaikan (dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih). Menghindari pecahnya persatuan bangsa lebih diutamakan daripada menyematkan syariah Islam dalam dasar negara.
Ciri khas sub-kultur pesantren ketiga ialah kepemimpinan kiai, berupa kepemimpinan intelektual, moral, spiritual dan sosial. Dalam kaitan ini, kiai merupakan teladan sempurna bagi penguasaan keluasan ilmu-ilmu keislaman yang bijak tersebut, serta teladan spiritual yang dipraktikkan secara etis baik dalam ranah individual, sosial dan bernegara.
Dengan demikian, beberapa pesantren radikal yang ditemukan BNPT tersebut jelas bukan bagian dari pesantren asli Nusantara. Nama lembaga-lembaga pendidikan itu boleh mengatasnamakan pesantren, namun selama tidak mencerminkan subkultur pesantren di atas, maka ia bukan pesantren. Hal ini akan menarik jika dilakukan riset secara obyektif, ilmiah dan komprehensif.
Sebaliknya, pesantren selama ini telah menjadi garda terdepan bagi penguatan "moderatisme" Islam dan tentu juga kontra-radikalisme. Sebab sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU) sebagai rumah besar pesantren Indonesia yang merupakan organisasi Islam terbesar pembentuk moderasi beragama, maka pesantrenlah yang merupakan akar rumput dari NU.
Jika terdapat pesantren yang radikal dan bertentangan dengan karakter pesantren dan NU, tentu menimbulkan anakronisme. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap sejarah serta karakter utama dari subkultur pesantren tersebut, jika ingin mengaitkan pesantren dengan isu radikalisme yang mengarah pada tindak pidana teroris di Indonesia.
Wallahu a’lam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.