Jika merujuk pada Pasal 114 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bila terjadi kecelakaan yang sangat jelas karena kelalaian pengendara yang tidak mendahulukan kereta api melintas, lebih tepat dinamakan kecelakaan jalan.
Ada juga yang menyalahkan pintu pelintasan tidak ditutup sehingga terjadi kecelakaan di JPL.
Sejatinya walau JPL tidak terpasang palang pintu atau tidak ada penjaga, pengendara harus tetap berkonsentrasi untuk lebih berhati-hati jika ada kereta api akan melintas.
Dalam UU tegas menyebutkan mendahulukan kereta api yang akan melintas, bukan berhenti di JPL karena palang pintu ditutup.
Logikanya, mengapa di lampu merah kendaraan tertib mau berhenti, sedangkan di JPL harus ada palang pintunya supaya kendaraan mau berhenti.
Idealnya dengan adanya alarm/sirene ketika akan ada kereta api melintas, pengendara kendaraan bermotor berhenti seperti halnya di lampu merah di jalan raya.
Terkadang kepala pemerintah daerah masih ada yang belum paham tentang siapa paling bertanggung jawab di JPL.
Ada beberapa pemerintah daerah yang masih mengganggap bahwa JPL adalah tanggung jawab pemerintah pusat karena moda kereta api (PT KAI ) adalah tanggung jawab/milik BUMN.
Bahkan bila terjadi kecelakaan di JPL, antarlini sektoral ada kecenderungan saling menyalahkan.
Terkadang PT KAI juga disalahkan. Padahal, KAI hanya penyelenggara sarana KA yang tidak punya lagi tanggung jawab di JPL.
Memang semua lintas sektor bertanggung jawab atas JPL, tetapi harus ada yang “paling” bertanggung jawab di JPL.
Pada UU No 23/2007 belum dibahas mendetail. Namun, persoalan ini dapat mengacu pada Permenhub PM No 94/2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api Dengan Jalan.
Pada PM 94/2018 tersebut diuraikan di Pasal 2 ayat 1:
Untuk menjamin keselamatan perjalanan kereta api dan keselamatan masyarakat pengguna Jalan, Perlintasan Sebidang yang telah beroperasi sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dan belum dilengkapi dengan Peralatan Keselamatan Perlintasan Sebidang, harus dilakukan pengelolaan oleh:
a. Menteri, untuk Jalan nasional;
b. Gubernur, untuk Jalan provinsi;
c. Bupati/Wali kota, untuk Jalan kabupaten/kota dan Jalan desa; dan
d. Badan hukum atau lembaga, untuk Jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga.
Jadi jelas bahwa yang “paling” bertanggung jawab JPL (termasuk bila ada kecelakaan) ada pada pemerintah/pemerintah daerah sesuai kepemilikan kelas jalan yang terdapat JPL.
Bila akses jalan ke permukiman atau industri mempunyai JPL, tentunya pengembang (developer) tersebut yang bertanggung jawab.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.