Ketiga adalah Environmental Development, indikator yang melekat pada lingkungan yang lebih besar, seperti ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan yang baik.
Pilar pertama adalah Pembangunan Manusia, dengan menghormati kemanusiaan (Respect for People. Blackburn 2007).
Pilihan-pilihan kebutuhan yang diambil harus merujuk pada nilai tersebut. Pertanyaan yang harus diajukan: bagaimana proyek ini bisa berkontribusi terhadap peningkatan pendidikan dan kesehatan warga.
Bila timbul hal-hal yang bisa mengganggu kesehatan dan pendidikan, bagaimana cara share holder mengatasinya.
Solusi dan program apa yang akan dibuat dan apa jaminannya bahwa program ini benar akan diimplentasikan.
Pilar kedua, dengan menilai pertumbuhan sosial ekonomi: sejauh mana ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan yang ada saat ini di desa Wadas dan sekitarnya.
Proyek harus berpedoman pada pemanfaatan sumber daya secara bijak demi kesejahteraan masyarakat (Blackburn 2007).
Kalau proyek ini dilakukan, apa dampaknya bagi masing-masing stake holder. Dalam hal ini, pemerintah harus mengusahakan agar proyek penambangan dan proyek waduk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan sosial bagi seluruh stake holder tanpa terkecuali.
Jangan sampai ada pemangku kepentingan yang ditinggalkan. Semua harus merasakan manfaat.
Pilar ketiga adalah menganalisa dampak lingkungan, dengan acuan menghormati mahluk hidup dan pemanfaat alam yang bijak (Respect for living things & Wise use of natural resources. Blackburn 2007).
Setiap aktivitas penambangan pasti akan mengubah alam. Perlu analisa, apakah ada sumber mata air, hutan, satwa liar, yang akan terdampak bila proyek dikerjakan.
Bila terkena terdampak, rehabilitasi macam apa yang akan dilakukan. Bagaimana agar kualitas lingkungan tetap terjaga dengan baik.
Kelak setelah penambangan selesai, perlu analisa dan kajian reklamasi lahan pascapenambangan.
Langkah selanjutnya adalah membuat peta jalan keberlanjutan: program-program apa saja yang harus dilakukan dalam proyek Wadas, baik terkait pembangunan manusia, sosial ekonomi, lingkungan dan alam.
Peta keberlanjutan menampung jenis program aktivitas, target dan jadwal dalam bulan-per bulan.
Setiap peta keberlanjutan dibuat dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun ke depan dan terus dimonitor, dievaluasi serta diperbaharui.
Semua program harus melibatkan pemangku kepentingan. Rencana ini semua harus disosialisasikan kepada warga dan seluruh stake holders sehingga muncul pemahaman akan manfaat proyek Wadas bagi semua pihak.
Untuk kasus Wadas, kesalahpahaman atas proyek penting nasional ini sudah berlarut-larut, hampir lima tahun.
Melalui Perpres nomor 58 tahun 2017 Pemerintah menetapkan pembangunan Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis nasional (PNS).
Pembangunan Bendungan tersebut memerlukan bahan bangunan berupa batu Andesit dari bukit di Desa Wadas, yang masih berada di kecamatan yang sama dengan jarak sekitar 12 km.
Ini adalah jarak terdekat di mana sumber bahan bangunan utama yang bisa didapat untuk pembangunan Bendungan. Namun warga mengkawatirkan akan dampak lingkungan yang terjadi.
Di satu sisi rencana penambangan ini bertujuan untuk membangun Bendungan Bener yang kelak akan mengairi lahan seluas 15.069 hektar dan menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 meter kubik perdetik.
Bendungan ini juga akan menjadi pembangkit listrik dengan menghasilkan daya sebesar 6 megawatt.
Informasi ini tidak tersosialisasi dengan baik, dan kesalahpahaman dibiarkan berlarut-larut hingga akhirnya muncul konflik terakhir.
Bila peta jalan keberanjutan dari proyek ini dilakukan dengan benar menggunakan prinsip-prinsip di atas, maka hal seperti ini tidak perlu terjadi.
Pada awal tahun 2021, publik sempat dihebohkan dengan berita tentang warga di tiga desa Tuban Jawa Timur yang mendadak menjadi miliarder setelah tanahnya dibeli oleh Pertamina.