Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suci Mayang Sari, S.T. , M.M
Peneliti di Institute for Sustainability and Agility

Suci Mayang Sari. Arsitek Lulusan Universitas Trisakti. Menyelesaikan S2 untuk Master tentang CSR di Universitas Trisakti.

Pada tahun 2011, tesisnya terpilih secara blind review untuk dipresentasikan pada International Society for Third Sector Research (ISTR) Asia Pacific Regional Conference.

Sustainability Report Specialist bersertifikat tahun 2010 dari National Center for Sustainability Reporting (NCSR) anggota dari Global Reporting Initiative (GRI) di Belanda. Fasilitator untuk British Council pada program Community Entrepreneurship tahun 2010.

Niat Baik dan Cara Baik: Pelajaran Kasus Wadas dan Tuban

Kompas.com - 27/02/2022, 12:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kenapa maksud baik tidak selalu berguna; Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga” ~ Sajak Pertemuan Mahasiswa, WS. Rendra

NIAT baik, rencana baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Itulah pelajaran terpenting dari dua kasus yang belakangan ramai mendapat sorotan, yakni konflik Wadas dan liputan tentang penyesalan warga yang menjual tanah mereka untuk proyek Pertamina di Tuban.

Pertanyaan klasik kembali muncul: pilih ekonomi atau lingkungan?

Laporan “Our Common Future” yang diterbitkan tahun 1987 oleh WCED (World Commision on Environment and Development) atau Komisi Bruntland – Perserikatan Bangsa-Bangsa meyakinkan bahwa pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan dan keadilan sosial sebenarnya bisa dipertahankan secara bersamaan.

Rekomendasi berupa konsep Sustainability Development atau pembangunan berkelanjutan yang menekankan bahwa pemenuhan kebutuhan hari ini bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Rekomendasi yang lahir 35 tahun silam itu kini terasa relevan ketika kita melihat apa yang terjadi di Wadas dan Tuban.

Pertumbuhan Ekonomi, Perlindungan Lingkungan dan Keadilan sosial seharusnya bisa berjalan seiring sejalan.

Pembangunan bendungan dan penambangan, tidak bisa dipungkiri membawa dampak ekonomi.

Tapi niat baik, sekali lagi harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan metode yang baik.

Pada titik inilah prinsip Sustainability menjadi relevan sebagai sebuah penunjuk jalan bagaimana menjalankan proyek dengan cara yang lebih bertanggungjawab.

Pemetaan sosial

Dalam konsep sustainability, sebelum proyek dilaksanakan, harus ada pemetaan sosial mengenai para pemangku kepentingan.

Siapa saja pihak yang terlibat dan terkena dampak dari proyek yang akan dijalankan. Juga sejauh mana para pemangku kepentingan dan proyek saling memberi dampak.

Keberlanjutan setiap proyek sangat bergantung pada para pemangku kepentingan. Semua institusi memiliki tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan yang nilainya tidak hanya sekadar uang, tapi jauh melebihi nilai kepemilikan para pemegang saham (Cornelissen, 2008).

Ada hubungan yang saling tergantung antara institusi dengan para pemangku kepentingan. Setiap pemangku kepentingan memiliki relevansi masing-masing terhadap proyek dan Institusi.

Sebelum proyek dikerjakan, perlu identifikasi: sejauh mana tingkat keterlibatan mereka, langsung atau tidak langsung, saling memberikan dampak positif atau negatif.

Dalam kasus Wadas, pemilik/pengelola proyek atau share holder adalah pemerintah pusat, melalui sub-ordinat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian ATR/BPN.

Sementara pemangku kepentingan atau stake holder, yaitu warga kampung Wadas, warga di luar kampung Wadas dan warga Jawa Tengah secara umum.

Pemetaan ini harus juga dilakukan dengan melibatkan pelaksana pekerjaan dan LSM yang punya kepentingan atau berpotensi terlibat baik mendukung maupun menentang proyek.

Banyak teori dan model pengklasifikasian stake holder yang bisa dipakai, baik menggunakan konsep primer dan sekunder pemangku kepentingan (Clarkson, 1995) atau menggunakan teori kekuasan, legitimasi, urgensi (Mitchell, Agle, Wood, 1997), berdasarkan konsep organisasi, ekonomi dan kelembagaan pemangku kepentingan (Werther & Chandler, 2006) atau berdasarkan langsung atau tidak langsung, generik vs spesifik, sah vs turunan (Fassin, 2009).

Warga kampung Wadas tidaklah tunggal. Bila diklasifikasi dan diidentifikasi segmentasinya: lelaki, perempuan, anak-anak, jarak lokasi tinggal dari lokasi proyek, jenis pekerjaan, pendidikan dst.

Berdasarkan primer atau sekunder, maka akan muncul warga sekitar, kemudian turunannya adalah warga di luar kampung, kemudian organisasi masyarakat dan perusahaan tertentu yang mungkin akan terlibat.

Berdasarkan kekuasaan, legitimasi dan urgensi akan muncul turunan dari warga, misalkan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, aparatus desa dan sebagainya.

Pemetaan ini harus dibuat matrik untuk menentukan: siapa stake holder utama, turunan, mana yang dominan, mana yang berdampak positif atau negatif terhadap proyek dan sebagainya serta memetakan irisan di antara para pemangku kepentingan.

Kasus Wadas

Bila merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs), ada tiga pilar utama yang bisa menjadi pedoman, yaitu:

Pertama adalah Human Development, indikator tentang Pembangunan Manusia, antara lain pendidikan dan kesehatan.

Kedua, Social Economic Development, indikator yang melekat pada lingkungan yang lebih kecil, seperti ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com