Komunikasi sambung rasa mensyaratkan adanya keterbukaan komunikasi antara para pihak.
Para pihak dalam posisi sederajat, yang satu mewakili rakyat serta pihak lain menjadi pelaksana tugas pemerintahan yang diembannya.
Saling respek, saling menghormati dan saling menghargai karena sejatinya mereka semua sedang bekerja untuk kemaslahatan rakyat.
Semua persoalan seberat apapun, pasti ada jalan temunya. “Gitu aja kok repot,” ucap mendiang Gus Dur.
Kita dianugerahi sebagai orang “Timur” yang dikenal ramah tamah dan mengedepankan sopan-santun.
Saya selalu gagal memberikan pemahaman kepada para mahasiswa saya jika topik perkuliahan yang dibahas mengenai parlemen kita.
Hampir sebagian besar mahasiswa melihat perfomance anggota DPR kita sangat payah dan dinilai negatif.
Top of mind publik – termasuk mahasiswa – mengenai DPR sangat memprihatinkan karena yang diingatnya selalu hal-hal yang negatif.
Pentas “usir-mengusir” di parlemen yang notabene berisikan wakil-wakil rakyat sungguh sangat tidak pantas dilihat oleh masyarakat umum apalagi bagi kalangan muda.
Cukup sudah akhiri arogansi, kesombongan dan sok kuasa dari semua kalangan.
Kalangan muda kita begitu jengah melihat drama demi drama yang dipertontonkan anggota Dewan yang terhormat.
Jangan sampai pola pemikiran kaum muda sudah “terkontaminasi” bahwa menjadi anggota Dewan itu menghalalkan semua omongan kasar dan harus usir-mengusir.
Salah seorang sahabat saya yang masih menjabat menteri di periode sekarang pernah men-chat saya usai ditegur keras anggota Dewan karena dianggap tidak menghargai rapat.
Sahabat saya ini dianggap tidak “eye contact” karena pada saat rapat kerja dengan DPR.
Padahal sang menteri di saat bersamaan mendapat selarik pesan dari Istana melalui gawainya terkait kondisi genting di bidang tugasnya.
Saya tahu, menteri ini disayang Presiden karena kerja kerasnya, tetapi “dihardik” anggota Dewan karena dianggap menyepelekan kehormatan.
Sang menteri kepada saya hanya berujar, ”gila hormat” sohib kita satu ini!
Saya jadi teringat dengan risalah hidup sahabat saya, Didi Supriyanto yang jengah dari “hingar-bingar” politik dan kini bergiat membuka usaha kedai kopi atau caffee bernama “Alasse” di berbagai kota.
Sebagai anggota DPR periode 1999 – 2004 dari Fraksi PDI Perjuangan, Didi paham betul bagaimana “mengelola” emosi politik di parlemen.
“Jadi anggota Dewan itu bukan segalanya, tidak boleh arogan dan sok kuasa. Anggota Dewan itu diberi amanah, harus semaksimal mungkin mau mendengar dan mengakomodir pendapat serta pandangan semua kalangan. Jika ada anggota Dewan sedikit-sedikit suka mengusir berarti gagal menjalankan fungsi pengawasan. Ingat, di atas langit masih ada langit” (Didi Supriyanto)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.