Dalam risalahnya berjudul “Efek Pembebasan Semangat Tawhid: Telaah tentang Hakikat dan Martabat Manusia Merdeka karena Iman” (dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban, 2005), Nurcholish menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana tauhid bisa memiliki konsekuensi pada demokrasi, kebebasan, sekularisasi dan kemajuan peradaban umat manusia.
Mengutip koran Kayhan al-Arabi, Nurcholish menyatakan bahwa tauhid memiliki efek pembebasan (taharruruyyah).
Hal ini, misalnya, terjadi di Afrika, di mana Islam digunakan sebagai instrumen kultural untuk pembebasan bagi masyarakat kulit hitam.
Efek pembebasan ini yang kemudian menjadi penjelas mengapa Islam cenderung selalu menang dalam perebutan pengikut dengan agama lain.
Nurcholish mengutip data dari Huston Smith, ahli agama-agama dunia, yang menemukan bahwa di banyak tempat, di mana Islam dan Kristen bersaing untuk mendapatkan pengikut, Islam umumnya lebih unggul rata-rata 10 banding 1.
Semangat pembebasan dalam tauhid tersebut diperoleh melalui prinsip bahwa doktrin ini berupaya menghilangkan paham ilahiah pada yang non-ilahi yang sering menjadi belenggu umat manusia.
Fondasi tauhid ada pada prinsip “al nafy wa al-itsbat” atau negasi-konfirmasi. Bagi Nurcholish, pernyataan “tidak ada tuhan selain Allah” adalah penegasan tentang terbebasnya manusia dari belenggu kepercayaan pada hal-hal yang palsu.
Dalam politik, terbebas dari hal-hal yang palsu itu adalah termasuk dari pemimpin tiran yang mengklaim memiliki pengetahuan sempurna dan anti-kritik.
Dalam tauhid, yang sempurna hanya Tuhan. Selain Tuhan adalah fana dan penuh dengan kekurangan. Karena itu, tidak boleh ada pemimpin negara yang bertindak seperti Tuhan.
Kemusyrikan dalam politik mewujud dalam bentuk pemerintahan tiran. Konsekuensi dari penerapan tauhid dalam politik tak lain adalah demokrasi itu sendiri karena dalam sistem itu, semua individu dianggap setara.
Pandangan Nurcholish mengenai sekularisasi sebagai desakralisasi, mensakralkan yang sakral dan memprovankan yang provan, juga berasal dari doktrin tauhid.
Negara dan partai politik adalah hal-hal duniawi yang seharusnya diperlakukan secara duniawi.
Mereka bukan hal yang sakral. Sistem politik harus memberi ruang bagi kebebasan individu. Demikianlah juga yang dikehendaki dalam semangat tauhid.
Desakralisasi artinya membebaskan manusia dari belenggu mempertuhankan sesuatu selain Tuhan, termasuk mempertuhankan diri sendiri.
Bentuk mempertuhankan diri sendiri adalah dengan menutup diri dari kemungkinan datangnya kebenaran dari pihak lain.
Dalam doktrin Islam, bentuk mempertuhankan diri sendiri itu adalah dengan terlalu mengedepankan hawa nafsu atau keinginan diri sendiri.
Individu semacam ini akan mudah jatuh ke dalam ketertutupan atau eksklusifisme yang pada ujungnya menghalangi kemajuan.
Nurcholish Madjid menyatakan: “Terdapat korelasi positif antara tawhid dan nilai-nilai pribadi yang positif seperti iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat (sikap rasional), kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya kepada diri sendiri, berani karena benar, serta kebebasan dan rasa tanggungjawab.”