Pidato ini, menurut Dawam Rahardjo, menutup peluang Nurcholish menjadi Natsir Muda.
Pandangan Nurcholish dianggap telah berubah terutama karena ia mengajukan “sekularisasi” sebagai bentuk liberalisasi atas pandangan-pandangan keagamaan mapan tapi keliru.
Atas pidato itu, dia mendapat tanggapan dan reaksi yang keras dari kelompok-kelompok Islam lain.
Baca artikel pertama: HMI dan Modernisasi Nurcholish Madjid
Tahun 1972, di Taman Ismail Marzuki, Nurcholish Madjid mempertegas gerakan pembaruannya melalui pidato berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.”
Memang banyak yang menganggap bahwa dengan munculnya pidato tahun 1970, yang kemudian dilanjutkan dengan pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1972, Nurcholish sudah memproklamiran dirinya sebagai pembaru Islam.
Dengan demikian mengambil jalan yang menyimpang dari kelompok Islam modernis yang diwakili kalangan Masyumi, Muhammadiyah, dll, di mana Muhammad Natsir sebagai tokoh utamanya.
Perbedaan utama itu nampak dari bagaimana mereka merumuskan Islam dalam bingkai kenegaraan.
Islam modernis masih memimpikan suatu formalisasi Islam dalam negara. Sementara kalangan neo-modernis seperti Nurcholish justru tidak begitu bersemangat dengan formalisasi itu, bahkan menentangkan.
Gagasan sekularisasi sebagai desakralisasi jelas adalah maklumat penolakan pada formalisasi syariat dalam kehidupan bernegara.
Nurcholish nampak mengambil dan menerapkan konsep elan vital Islam dari gurunya, Fazlur Rahman, yang menekankan pentingnya api atau prinsip Islam daripada yang legal formal dalam agama ini.
Baca artikel kedua: Daya Tonjok Pembaruan Nurcholish Madjid
Efek pembebasan dalam Doktrin Tauhid
Tetapi apakah kemudian dengan sikap ini, Nurcholish hendak melepaskan Islam dan lebih condong mengambil nilai-nilai di luar Islam, misalnya dari Barat, seperti yang dituduhkan oleh para pengkritiknya?
Nampaknya hal ini tidak banyak terbukti. Pascapidato 1970, juga sebelumnya, 1968, Nurcholish Madjid justru menjadi seorang intelektual Muslim yang sangat kaya dengan pendasaran tradisi.
Konsepnya mengenai sekularisasi, liberalisasi dan pembelaannya pada modernisasi semuanya menggunakan akar tradisi, doktrin dan pemikiran Islam itu sendiri.
Pandangan Nurcholish Madjid, menurut Bahtiar Effendi, bersandar pada gagasan yang radikal terhadap dua prinsip ajaran Islam: konsep tauhid (keesaan Tuhan) dan manusia sebagai khalifah di bumi (khalifah Alla fi al-Ardh).
Dawam Rahardjo menyebut pandangan Nurcholish tentang sekularisasi sebagai desakralisasi adalah wujud dari radikalisasi tauhid dalam pemikiran Nurcholish Madjid.
Dalam risalahnya berjudul “Efek Pembebasan Semangat Tawhid: Telaah tentang Hakikat dan Martabat Manusia Merdeka karena Iman” (dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban, 2005), Nurcholish menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana tauhid bisa memiliki konsekuensi pada demokrasi, kebebasan, sekularisasi dan kemajuan peradaban umat manusia.
Mengutip koran Kayhan al-Arabi, Nurcholish menyatakan bahwa tauhid memiliki efek pembebasan (taharruruyyah).
Hal ini, misalnya, terjadi di Afrika, di mana Islam digunakan sebagai instrumen kultural untuk pembebasan bagi masyarakat kulit hitam.
Efek pembebasan ini yang kemudian menjadi penjelas mengapa Islam cenderung selalu menang dalam perebutan pengikut dengan agama lain.
Nurcholish mengutip data dari Huston Smith, ahli agama-agama dunia, yang menemukan bahwa di banyak tempat, di mana Islam dan Kristen bersaing untuk mendapatkan pengikut, Islam umumnya lebih unggul rata-rata 10 banding 1.
Semangat pembebasan dalam tauhid tersebut diperoleh melalui prinsip bahwa doktrin ini berupaya menghilangkan paham ilahiah pada yang non-ilahi yang sering menjadi belenggu umat manusia.
Fondasi tauhid ada pada prinsip “al nafy wa al-itsbat” atau negasi-konfirmasi. Bagi Nurcholish, pernyataan “tidak ada tuhan selain Allah” adalah penegasan tentang terbebasnya manusia dari belenggu kepercayaan pada hal-hal yang palsu.
Dalam politik, terbebas dari hal-hal yang palsu itu adalah termasuk dari pemimpin tiran yang mengklaim memiliki pengetahuan sempurna dan anti-kritik.
Dalam tauhid, yang sempurna hanya Tuhan. Selain Tuhan adalah fana dan penuh dengan kekurangan. Karena itu, tidak boleh ada pemimpin negara yang bertindak seperti Tuhan.
Kemusyrikan dalam politik mewujud dalam bentuk pemerintahan tiran. Konsekuensi dari penerapan tauhid dalam politik tak lain adalah demokrasi itu sendiri karena dalam sistem itu, semua individu dianggap setara.
Sekularisasi sebagai Desakralisasi
Pandangan Nurcholish mengenai sekularisasi sebagai desakralisasi, mensakralkan yang sakral dan memprovankan yang provan, juga berasal dari doktrin tauhid.
Negara dan partai politik adalah hal-hal duniawi yang seharusnya diperlakukan secara duniawi.
Mereka bukan hal yang sakral. Sistem politik harus memberi ruang bagi kebebasan individu. Demikianlah juga yang dikehendaki dalam semangat tauhid.
Desakralisasi artinya membebaskan manusia dari belenggu mempertuhankan sesuatu selain Tuhan, termasuk mempertuhankan diri sendiri.
Bentuk mempertuhankan diri sendiri adalah dengan menutup diri dari kemungkinan datangnya kebenaran dari pihak lain.
Dalam doktrin Islam, bentuk mempertuhankan diri sendiri itu adalah dengan terlalu mengedepankan hawa nafsu atau keinginan diri sendiri.
Individu semacam ini akan mudah jatuh ke dalam ketertutupan atau eksklusifisme yang pada ujungnya menghalangi kemajuan.
Nurcholish Madjid menyatakan: “Terdapat korelasi positif antara tawhid dan nilai-nilai pribadi yang positif seperti iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat (sikap rasional), kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya kepada diri sendiri, berani karena benar, serta kebebasan dan rasa tanggungjawab.”
Konsekuensi lain dari semangat tauhid adalah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Dengan melakukan desakralisasi, maka eksplorasi ilmu pengetahuan bisa berkembang lebih pesat.
Melemahkan argumen Islam politik
Pemikiran yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid telah membuka ruang debat yang luas di kalangan umat Islam.
Dengan menyatakan bahwa modernisasi dan sekularisasi memiliki dasar di dalam doktrin utama umat Islam, yaitu tauhid, Nurcholish menggugat pandangan dua kelompok dominan.
Pertama, pandangan itu menyerang langsung pada pandangan kalangan Islam ortodoks yang selama ini antipati pada modernisasi dan sekularisasi.
Dengan menyatakan bahwa modernisasi dan sekulerisasi adalah kosekuensi logis dari ber-Islam, Nurcholish hendak menepis kecurigaan bahwa ide-ide itu adalah sesuatu yang asing dan dengan sengaja diinjeksikan dari luar untuk melemahkan Islam.
Pandangan-pandangan pembaruan Nurcholish yang mengakar pada tradisi Islam juga sekaligus sebagai jawaban pada kalangan luar Islam yang selama ini skeptis pada kemungkinan umat Islam bisa mencapai suatu peradaban tinggi.
Banyak kalangan yang mencurigai Islam secara esensial tidak kompatibel dengan modernitas. Nurcholish Madjid menyanggah itu semua dengan argumen yang elegan dan canggih.
Namun demikian, di titik ini, Nurcholish harus menghadapi kritisisme bahwa dia sendiri masuk dalam sikap apologia, sesuatu yang dikritiknya pada pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1972.
Implikasi terpenting dari pandangan dan sikap neo-modernis Nurcholish yang menolak formalisasi politik Islam sedikit banyak mengubah eksistensi dan pengaruh kekuatan politik Islam di Indonesia.
Sebelum gerakan pembaruan dari kalangan kelompok Islam ini muncul, nyaris tidak ada argumen dari internal tokoh Islam yang men-counter aspirasi Islam politik.
Orang seperti Nurcholish, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid membuat pembelaan pada politik Islam menjadi sangat lemah karena perlawanan terhadapnya bukan datang dari luar, yaitu kelompok nasionalis, tetapi muncul dari kalangan terdidik Muslim yang memiliki akar tradisi yang kuat.
Bahkan jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pengusung partai Islam, kecakapan intelektual santri pembaru ini jauh di atas mereka.
Barangkali ini yang bisa menjelaskan kemerosotan dukungan pada partai-partai Islam, yang bukan hanya terjadi selama masa Orde Baru, tapi juga setelah reformasi.
Partai-partai Islam tidak hanya menghadapi kekuatan partai nasionalis, tapi juga menghadapi argumen kontra dari intelektual Muslim utama.
Legitimasi teologis pada partai Islam terkikis sedemikian rupa dengan hadirnya kelompok pembaru Islam yang disebut sebagai neo-modernis Islam tersebut.
SELESAI.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/07/09002771/doktrin-tauhid-sebagai-fondasi-pembaruan-nurcholish-madjid