JAKARTA, KOMPAS.com - Dugaan "bisnis" di lembaga pemasyarakatan (lapas) kembali terkuak.
Bukan sekali dua kali saja publik mendengar kabar adanya praktik jual beli kamar, makanan, minuman, jam mandi, dan semacamnya di dalam lapas.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengakui, sudah sejak lama pihaknya mendapat laporan beragam modus jual beli fasilitas di lapas.
Baca juga: Narapidana Lapas Cipinang Mengaku Diminta Rp 30.000 Per Minggu agar Bisa Tidur Beralaskan Kardus
Ia pun mendorong Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) segera menindak tegas modus-modus tersebut.
"Jadi respons jajaran Kemenkumham termask Ditjen Pemasyarakatan tidak bisa lagi sekadar akan diselidiki dan kalau terbukti akan ditindak," kata Arsul kepada Kompas.com, Jumat (4/2/2022).
"Yang diperlukan sidak dan model operasi intelijen yang dilakukan secara diam-diam, bagaimana caranya tentu Kemenkumham tahu. Jika tidak memiliki kemampuan melakukan sendiri ya bisa minta bantuan dan kerja sama dengan BIN dan Intelkam Polri," tuturnya.
Terbaru, terungkap dugaan praktik jual beli kamar di lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur.
Adalah WC, seorang warga binaan yang mengungkap praktik tersebut. Menurut penuturan WC, ia dan narapidana lainnya harus membayar sejumlah uang ke petugas hanya demi mendapatkan tempat untuk tidur.
Baca juga: Narapidana Ungkap Praktik Jual Beli Kamar di Lapas Cipinang, Kalapas Membantah
Besaran uang yang dibayarkan mencapai Rp 30.000 per minggu. Itu pun hanya untuk memperoleh tempat tidur beralaskan kardus.
"Besarnya tergantung tempat tidur yang dibeli. Kalau tidur di lorong dekat pot dengan alas kardus, itu Rp 30.000 per satu minggu. Istilahnya beli tempat," kata WC kepada wartawan, Kamis (3/2/2022).
Menurut WC, untuk mendapatkan tempat tidur yang lebih layak, narapidana harus mengeluarkan uang lebih besar. Nominalnya bisa mencapai jutaan rupiah.
"Nanti duitnya diserahkan dari ke sipir, di sini seperti itu. Kalau untuk tidur di kamar lebih mahal, antara Rp 5 hingga 25 juta per bulan. Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar," ujar WC.
WC menuturkan, praktik jual beli kamar di Lapas Cipinang sudah sejak lama terjadi. Praktik ini bahkan menjadi "pemasukan sampingan" oknum petugas di lapas itu.
"Mau enggak mau, kami harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga di luar untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit ya susah. Makanya yang makmur di sini napi bandar narkoba," tuturnya.
Baca juga: Ungkap Jual Beli Kamar di Lapas Cipinang, Napi: Termahal Rp 25 Juta
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Lapas Kelas I Cipinang Tony Nainggolan membantah adanya praktik jual beli kamar seperti yang diungkapkan WC.
Tony mengatakan, para narapidana tidak perlu mengeluarkan uang untuk dapat menikmati fasilitas tambahan
"Baru kemarin saya membuka program admisi orientasi (pengenalan lingkungan) dan saya sampaikan kalau di Lapas Cipinang tidak ada urusan yang berbayar termasuk masalah tidur," kata Tony kepada wartawan, Kamis (3/2/2022).
Aktivis HAM Surya Anta Ginting juga sempat mengungkapkan adanya praktik pungutan liar (pungli) dalam rutan maupun lapas.
Sebagai mantan penghuni Rutan Salemba yang divonis bersalah atas kasus makar, Surya mengungkapkan bahwa praktik pungli di rutan sudah berlangsung lama.
Menurut Surya, pungli dilakukan oleh pengurus blok atau warga binaan yang telah lama mendekam. Para tahanan dipalak untuk uang kebersamaan, baik di lorong maupun uang kamar.
“Biayanya macam-macam, kalau langsung bisa sampe Rp 30 juta-40 juta. Kalau misalnya satu hari di mapenaling (ruang masa pengenalan lingkungan) bisa belasan juta, dan itu tergantung ke blok mana, bisa ke Blok O, Blok J, Blok K, Blok L, itu harganya beda-beda,” kata Surya dalam diskusi daring, Selasa (18/8/2020).
Selain itu, bentuk pungli lainnya yakni untuk eksekusi vonis. Surya mengatakan, banyak tahanan yang tidak menerima surat eksekusi vonis karena tertahan di kejaksaan atau pengadilan negeri.
Uang pun harus dikeluarkan untuk mendapatkan surat eksekusi vonis tersebut agar memperoleh bebas asimilasi hingga mengurus cuti.
“Jadi begitu banyak orang tertahan di rutan saat itu karena tidak mendapatkan surat eksekusi vonis,” ucap dia.
Pertengahan 2018 lalu, publik sempat dihebohkan dengan penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin Bandung, Wahid Husein, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Babak Baru Kasus Korupsi E-KTP Kembali Diusut KPK, 2 Eks Pejabat Ditahan
Ia ditangkap karena diduga menerima suap terkait pemberian fasilitas dan izin khusus di Lapas Sukamiskin bagi sejumlah narapidana.
Kala itu, KPK mengungkap adanya sejumlah sel di Lapas Sukamiskin yang dilengkapi fasilitas mewah seperti AC, kulkas, hingga televisi.
Untuk mendapatkan fasilitas tersebut, uang yang harus dibayarkan narapidana nilainya mencapai Rp 200-500 juta.
Penangkapan Wahid Husein itu membuktikan rumor adanya praktik penyalahgunaan kewenangan dan kegiatan suap di dalam lapas.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Wahid Husein terbukti menerima uang dan hadiah dari sejumlah napi korupsi seperti Fahmi Darmawansyah, Tubagus Chairil Wardhana, dan Fuad Amin.
Baca juga: KPK Sebut Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Perkuat Pencarian DPO, Termasuk Harun Masiku
Pada 8 April 2019 Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kota Bandung menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta kepada Wahid Husein.
Sejak saat itu, Wahid Husein mendekam di Lapas Sukamiskin, lapas yang pernah dipimpinnya.
Awal 2018 lalu, Ombudsman juga menemukan praktik bisnis dalam lapas.
Anggota Ombudsman RI kala itu, Nini Rahayu mengungkapkan, pihaknya menemukan adanya warga binaan Lapas di daerah Sumatera Barat dan Kalimantan yang terpaksa membayar untuk mendapatkan makan, minum, dan mandi.
"Warga binaan masih tanya, 'Bu Nini, warga binaan apakah diberi layanan makan, minum, air mandi?' Saya tanya kenapa gitu, mereka rupanya makan beli, minum beli," kata Nini di Kantor Ombudsman, Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Di lapas di Sumatera Barat, kata Nini, warga binaan harus mengeluarkan uang untuk makan karena makanan yang diberikan lapas dinilai tidak bergizi dan berasnya berkutu.
Air yang diberikan lapas untuk minum juga dikeluhkan sangat kotor. Biaya yang dikeluarkan warga binaan untuk air minum per galon pun mencapai Rp 10.000.
Baca juga: KPK Tak Lagi Pakai Istilah OTT tapi Tangkap Tangan, Ini Alasannya...
Sementara, untuk mandi, warga binaan disebut merogoh kocek Rp 20.000. Sedangkan, untuk makan Rp 14.000.
"Sehingga mereka kebingungan, 'Oh penghuni lapas itu membeli ya minumnya, makannya, mandinya?'" ujar Nini.
Nini merasa prihatin warga binaan lapas tidak mengetahui hak-haknya. Mereka terpaksa menerima kondisi tersebut karena tidak bisa mengadu dan berbuat apa-apa selain menerima.
"Saya agak prihatin, ketika orang hendak menjadi warga binaan ternyata meraka belum tahu hak-haknya. Hak informasi warga binaan seperti apa," ujar Nini.
Tak hanya di lapas, menurut dia, kasus ini juga terjadi di rutan, termasuk tempat tahanan Polres.
Di lapas di Jakarta misalnya, Ombudsman menemukan adanya warga binaan yang memperoleh kamar tahanan dengan membayar uang bulanan.
"Kayak ngekos. Bayar uang kamar Rp 30.000 sebulan. Uang-uang ini ke mana?," kata Nini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.