JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah Indonesia dan Singapura sepakat meneken persetujuan lintas batas wilayah informasi udara (flight information region/FIR) Jakarta–Singapura pada Selasa (25/1/2022), muncul kritikan bahwa Indonesia tak sepenuhnya menguasai FIR di Kepulauan Riau dan Natuna. Sebab, merujuk pada salah satu poin persetujuan, Singapura masih menguasai FIR untuk penerbangan komersil dan militer.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, tidak membantah kritikan itu tetapi dia mengatakan bahwa kritikan tersebut tidak sepenuhnya benar.
"Jadi memang, kalau orang katakan enggak sepenuhnya Indonesia dapat mengatur (FIR), tidak mungkin ada ruang (untuk bicarakan itu). Di mana ruang penyesuaian itu dibicarakan antara Singapura dengan Indonesia, iya," kata Ngabalin, Kamis.
Baca juga: Singapura Masih Kuasai Sebagian FIR Indonesia, Ngabalin Beri Penjelasan
"Karena berpuluh-puluh tahun Indonesia membicarakan ini tapi tidak selesai, sehingga begitu ketemuan kemarin ada kesepakatan terhadap beberapa poin," ujar dia.
Pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Long, kata Ngabalin, merupakan yang pertama untuk membahas tentang FIR oleh pemimpin kedua negara. Ketika ada kritik bahwa tidak sepenuhnya ruang udara itu dikuasai Indonesia, Ngabalin tidak menampik. Hanya saja dia tidak setuju jika hal itu disebut demikian.
"Bukan begitu bahasanya. Bahasanya itu adalah mengatur penyesuaian," kata dia.
Penyesuaian yang dia maksud terkait dengan kapasitas masing-masing negara. Ia lantas menyebutkan, Singapura mesti menyesuaikan negaranya selaku pulau kecil dalam pengelolaan ruang udara. Sementara Indonesia, ada sejumlah faktor yang penyesuaiannya harus diatur.
"Salah satunya soal kemampuan kita. Ini kan tak terjadi sehari dua hari. Dari dulu sebelum Singapura itu menjadi negara merdeka, dia kan negara commonwealth Inggris," katanya.
Ia kemudian meminta masalah ini tidak dijadikan polemik. Kendati demikian, masukan dari publik tetap menjadi penting bagi pemerintah.
"Yang pasti bahwa ada yurisdiksi kita, ada kedaulatan kita terkait masalah FIR yang sudah lebih dari 40 tahun dibicarakan tapi saat itu belum bisa selesai. Jadi dilihat dari sisi manfaat langkah-langkah yang sudah dilakukan pemerintah," kata dia.
"Dengan PM Singapura mau duduk bicara dengan Presiden Jokowi artinya ada pengakuan kedaulatan atas Indonesia terhadap penyesuaian FIR. Artinya apa, bukan saja Singapura tapi dunia internasional juga mengakui," lanjut Ngabalin.
Ngabalin menilai, ke depan terbuka pintu untuk membahas masalah yang belum terselesaikan soal FIR di antara kedua negara. Setelah kesepakatan FIR ditandatangani, Ngabalin menyebut akan ada proses ratifikasi undang-undang dan ada pembahasan lebih lanjut di DPR.
Selain itu, akan ada penempatan lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan Indonesia (AirNav) di Kepulauan Riau.
"Selama ini tidak ada. Baru pada saat ini. Kan sudah disepakati di agreement kemarin. Artinya apa? Artinya justru Indonesia yang mengawasi Singapura. Tidak bisa Singapura mau apa-apa secara serta merta," ungkap Ngabalin.
"AirNav ini kesepakatan kedua pemimpin saling mengawasi, saling menyesuaikan terhadap penyesuaian ruang udara," tambah Ngabalin.
Baca juga: Siapa yang Diuntungkan dari Penandatanganan Kesepakatan FIR Jakarta–Singapura?