PERADAPAN manusia kiwari sedang berubah ke arah yang sarat kejutan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jadi yang terdepan dalam hal ini, yang kadang tak terlintas dalam benak mereka yang keuekeuh dengan imajinasi peradaban masa silam. Suka atau tidak, sebenarnya pola itu sudah sangat layak ditanggalkan karena cenderung pasif, dengan menonjolkan penantian “keajaiban dari Tuhan,” tanpa merenung bahwa diri kita dan semesta inilah keajaiban Tuhan yang sejati.
Mereka yang gerak-gerik kehidupannya kerap kali berada di bawah kendali mesianistik itu, tak pernah bisa lepas dari sosok ratu adil, satrio piningit, budak angon, yang terus-menerus dibawa dari masa lalu dan entah kapan mengejawantah jadi kenyataan.
Alhasil mereka pun jauh tertinggal di belakang, dan sama sekali tak tahu bahwa dunia kita telah berubah sedemikian cepat dalam segala lini.
Bangsa Korea dan Tiongkok beradu tangkas menciptakan matahari buatan. Tak cukup sampai di situ, Negeri Tirai Bambu juga baru saja meluncurkan satelit 6G, lengkap dengan stasiun luar angkasa tercanggihnya, dan yang terkini televisi tembus pandang.
Tak mau kalah dengan torehan kemajuan bangsa di Timur, bangsa Barat mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan robot hidup bernama Xenobot pada 2020, yang bisa mereproduksi dirinya sendiri. Penelitian ini dilakukan di University of Vermont, Tufts University, serta Wyss Institute for Biologically Inspired Engineering di Universitas Harvard, dan diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences.
Mengamati beberapa hal tersebut, generasi saat ini sudah mulai harus menyadari bahwa mereka dan segenap potensi dalam dirinya yang tercitra berupa akal, pikiran, rasa perasaan, dan budi pekerti adalah anugerah tak ternilai dari Tuhan yang mesti disyukuri, dan dapat dieksplorasi melebihi ambang batas dogma masa lampau yang lebih sering menjajah kemerdekaan sebagian besar manusia, yang lucunya mengaku modern.
Namun, manusia tetap saja memiliki keterbatasan yang juga kadang-kadang tak disadari. Karena itu, tentu manusia butuh ragam pembatasan guna mencegah lahirnya kreativitas yang justru akan memicu kehadiran petaka bagi manusia sendiri.
Pembatasan itulah yang sekarang perlu dikemas dalam khazanah kekinian yang bukan melulu ilusi dogma. Tapi sebuah pembatasan tentang realitas norma, adab, welas asih, budi pekerti yang tidak sekadar imajinasi.
Generasi Indonesia ke depan harus dibekali arti penting keberlanjutan hidup manusia dan semesta dalam suasana harmoni. Tidak saling menafikan dan perlu menemukan makna damai sejahtera dalam kehidupan mereka yang sesungguhnya.
Mereka perlu tahu bahwa pada akhirnya, untuk memerankan permainan kehidupan ini, kita semua tetap membutuhkan penunjang sejati kehidupan, berupa ruang hidup yang baik; kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan; kebutuhan biologis sebagai upaya keberlanjutan generasi manusia; kebutuhan bersosialisasi dan hubungan antar sesama maupun dengan semesta; dan tentu saja berhubungan secara intim dengan diri sendiri dalam kesederhanaan pola pikir.
Semua itu perlu upaya yang harus kita lakukan sebagai manusia, juga segmentasi peran dalam mengisi kemerdekaan berpikir saintifik yang sedang berlangsung, dan untuk mempersiapkan masa depan yang sarat ketidakpastian. Sisi kepastian sejati itulah yang menjadi tugas mulia kita saat ini.
Kita harus mau mengevaluasi diri dengan mengubah persepsi berpikir terkait peran dalam kehidupan ini, sehingga selaku sebuah bangsa yang merdeka, kita bisa lebih baik dalam berkehidupan serta berkedaulatan. Sudah saatnya kita harus mulai berpikir sebagai subjek dan objek sekaligus, dari sebuah peran dalam berbangsa-bernegara.
Pertama, negara kita dikaruniai Tuhan dengan lahan yang subur dan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun. Maka, sudah sepatutnya kita menjadi subjek utama dalam perputaran kebutuhan pangan dunia.
Namun kalau kita selalu mengekor sistem yang ada sekarang dan rakyat Indonesia tidak boleh begini dan begitu, maka kita akan selalu dipaksa mengikuti pola bangsa lain. Padahal justru mereka tidak memiliki ruang hidup sebaik yang kita miliki di sini.
Apabila itu terus berlangsung, alhasil merekalah yang selalu menjadi pemenang karena kecerdikan dan kelicikannya dalam mengendalikan corak peradaban manusia.
Kedua, dalam hal berkeyakinan, kita juga harus berpikir sebagai subjek, jangan lagi menjadi objek yang harus manut pada aturan bangsa asing dengan selalu mengatasnamakan Tuhan.
Karena pada kenyataannya, khalifah Tuhan di dunia ini adalah semua manusia. Pengooptasian kepemilikan “tuhan” seolah itu hanya milik mereka dan menempatkan bangsanya sebagai subjek, dan memosisikan bangsa kita sebagai objek dari sebuah keyakinan, sudah terlalu lama menguntungkan mereka dan sangat merugikan bangsa ini.
Mulailah berpikir sebagai subjek dalam berkeyakinan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak terdogmatisasi dalam sistem berketuhanan bangsa asing, yang telah meramu hal itu dalam format dagang dan ekonomi. Cobalah kita merenung tentang jati diri sendiri, agar kita tidak lagi menjadi objek yang seolah tiada sudah dieksploitasi bangsa asing
Ketiga, semua yang terwujud dalam kehidupan ini, bahan dasarnya ada di dalam bumi. Bangsa kita dianugerahi Tuhan memiliki tanah yang kandungannya paling lengkap di seantero dunia. Segala sumber hayati, energi, mineral, logam, bahan bangunan dan senjata, semua tersedia di Indonesia.
Berdasarkan sudut pandang itu saja, mestinya kita tak alergi dengan nuklir, karena uranium terbaik di dunia ada di sini. Lagipula, nuklir telah menjadi tolok ukur kekuatan militer sebuah negara yang kuat dan berdaya tawar di Dewan Keamanan PBB.
Indonesia malah lebih pantas masuk jajaran negara kaya karena memiliki cadangan emas 2.600 ton, yang merupakan terbesar keenam di dunia.
Berdasarkan data terkini dari Kementerian ESDM medio November 2021, cadangan emas yang dimiliki Indonesia malah lebih besar dibandingkan China. Bukankah emas dijadikan patokan nilai tukar mata uang sebuah negara? Lantas kenapa rupiah tak pernah boleh menyalip dollar, poundsterling, atau dinar?
Satu lagi, Indonesia tak boleh lagi mengekspor bahan baku dan jadi negara importir beras atau daging sapi. Itu sama saja mencoreng wajah leluhur negeri bahari yang agraris ini. Toh kekayaan hayati kita melimpah ruah.
Lagipula, untuk apa kita membeli dengan harga mahal daging sapi yang seperti sandal jepit itu. Kita bisa makan daging yang lebih baik dan lezat, yang telah Tuhan siapkan di negeri kita selama ini, dan bahkan bisa menjualnya ke bangsa lain, agar kita bisa menambah sumber pendapatan negara.
Akhir kalam, dengan segala kelebihan yang telah kita miliki selama ini sebagai sebuah negara-bangsa, Indonesia perlu mendeklarasikan diri menjadi negara adidaya yang juga ditopang dengan keluhuran kebudayaannya.
Ayo mengubah persepsi berpikir untuk menjadi subjek-objek sekaligus dalam pembangunan semesta. Jangan lagi mau menjadi bulan-bulanan dari sebuah permainan yang jelas sangat merugikan segenap anak bangsa, yang kelak menghela kegemilangan masa depan Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.