JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak kecewa dengan hasil KTT perubahan iklim World Leaders Summit COP26 di Glasgow, Skotlandia beberapa hari yang lalu.
Leonard mengatakan, mestinya hasil COP26 ini memperjelas peta jalan untuk mencapai tujuan utama agar suhu Bumi dibatasi pada 1,5 derajat celsius pada 2100 atau paling tinggi 2 derajat celsius.
"Tapi ternyata hasilnya cukup mengecewakan, karena kemudian kesepakatan yang dihasilkan walaupun di beberapa hal mengafirmasi bahwa 1,5 derajat Celcius yang harus dicapai, tetapi dalam hal-hal spesifik, target spesifiknya masih lemah," kata Leonard dalam dalam konferensi pers secara virtual soal Kesepakatan Final COP26 yang Jauh dari Harapan, Senin (15/11/2021).
Baca juga: COP26 Rampung, Diwarnai Drama Batu Bara di Menit-menit Terakhir
Leonard mengatakan, pihaknya melihat adanya lobi-lobi di menit akhir dalam pertemuan tersebut yang dilakukan negara-negara besar yang memiliki industri fosil, minyak, dan gas, seperti India, Arab Saudi dan Australia.
Negara-negara itu melobi untuk menghasilkan kompromi sehingga target sasaran dari pertemuan tersebut menjadi lemah.
"Padahal sebenarnya kita harus benar-benar di (COP26) Glasgow itu menghasilkan kesepakatan global yang benar-benar seharusnya berdasarkan bukti saintifik," ujarnya.
Ia mengatakan, bukti saintifik menunjukkan bahwa perubahan fundamental harus dilakukan terhadap ekonomi global agar dunia tidak menuju pada bencana iklim permanen.
Perubahan tersebut, lanjutnya, dilakukan dengan menghentikan deforestasi dan menghentikan penggunaan industri fosil seperti PLTU batu bara.
"Indonesia sendiri sebenarnya dalam perundingan dua minggu yang lalu termasuk negara yang mempunyai komitmen untuk menutup operasi PLTU secara bertahap," tuturnya.
Lebih lanjut, Leonard juga menyayangkan, keputusan COP26 memberi ruang kepada industri PLTU batu bara untuk menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) guna menekan emisi CO2 dari PLTU tersebut.
Menurutnya, teknologi tersebut belum terbukti kelayakannya dan membutuhkan biaya yang mahal.
"Nah ini salah satu hasil lobi dari industri batubara. ini kita sayangkan ada dalam keputusan COP26 dan memperlemahnya," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Polandia, Vietnam, Chile dan ratusan negara lain berjanji menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara (PLTU) dan berhenti membangun pembangkit listrik baru.
Kesepakatan itu disampaikan tuan rumah KTT COP26 pada Kamis (4/11/2021) itu akan mengikat 190 negara untuk berhenti menggunakan bahan bakar batu bara.
Dilansir dari Reuters, Kamis (4/11/2021), batu bara adalah bahan bakar fosil yang paling berpolusi dan emisi gas rumah kaca dari pembakarannya berkontribusi paling besar terhadap perubahan iklim.
Menghentikan penggunaan batu bara, dipandang penting untuk mencapai target iklim yang disepakati secara global.
Baca juga: Hasil COP26: Mengecewakan, Kurang Ambisius, tetapi Lumayan Ada Kemajuan
Dalam kesepakatan yang ditandatangani di COP26, negara-negara berkomitmen akan menghentikan investasi untuk pembangkit batu bara, baik di dalam dan luar negeri.
"Selain itu, negara-negara kaya juga berjanji menghapus pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada tahun 2030-an, dan untuk negara-negara miskin di tahun 2040-an," kata pemerintah Inggris.
"Akhir dari batu bara sudah di depan mata. Dunia bergerak ke arah yang benar, menghentikan penggunaan batu bara dan merangkul manfaat lingkungan dan ekonomi yang didukung energi bersih untuk masa depan," imbuh sekretaris bisnis dan energi Inggris Kwasi Kwarteng.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.