oleh: Dr Andy Ahmad Zaelany
KABARNYA dahulu Suku Laut adalah bagian dari angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Mereka berlayar untuk mengawasi potensi gangguan atau serangan dari pihak lawan.
Mereka mencari ikan di lautan, dan sekaligus melihat-lihat kalau-kalau ada potensi serangan dari lawan.
Konon, karena itu kerajaan Sriwijaya aman. Selain kesiapan mereka untuk ikut berperang, peran utamanya mengkomunikasikan keadaan di laut kepada petugas keamanan kerajaan Sriwijaya
Barangkali idenya sama, sebagaimana Suku Laut, nelayan-nelayan Tegal diimbau mengikuti kebijakan Jokowi agar nelayan mencari ikan ke perairan Natuna dengan menggunakan jaring cantrang.
Baca juga: Tangkap 2 Ekor Penyu dengan Pukat, Seorang Nelayan Asal NTT Diringkus Polisi
Memang berdasarkan Permen 59 Tahun 2020 jaring cantrang dilarang, namun disebabkan nelayan-nelayan asing banyak yang menggunakan alat tangkap destruktif seperti trawl, maka nelayan Tegal dianjurkan membawa alat tangkapnya yang berupa jaring cantrang.
Nelayan asing dari Vietnam, China, dan lain-lain banyak yang mencari ikan di perairan Natuna dan tidak jarang masuk ke dalam kawasan perairan Indonesia. Sudah ada beberapa kapal nelayan asing yang ditangkap karena mencari ikan di wilayah Indonesia.
Nelayan Tegal sebelum berangkat berangkat berlayar umumnya diasuransikan. Hal ini untuk mematuhi UU nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan pekerja perikanan. Seperti tahun ini setidaknya ada 18.170 nelayan yang berangkat melaut sudah diasuransikan.
Kewajiban asuransi ini diberlakukan dengan ketat karena sudah berulangkali terjadi kecelakaan laut menimpa nelayan. Untuk kapal yang berangkat ke perairan Natuna umumnya berukuran 60 GT ke atas.
Baca juga: Saat Jokowi Terima Laporan soal Kapal China dan Amerika Melintas di Natuna
Arus di perairan sana besar. Kecelakaan laut bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama kapal dihantam ombak dan berakibat kapal rusak, kemudian mengakibatkan kecelakaan pada awak kapal. Kedua, ketika sedang kerja di kapal datang ombak dan melempar awak kapal ke laut.
Ketidakmampuan berenang yang handal menyebabkan kecelakaan di laut sering terjadi.
Tahun ini orientasi melaut nelayan Tegal ada yang ke arah Natuna, ke arah perairan Bangka dan Belitung, di Laut Jawa serta ke arah Masalembo. Kapal yang menuju perairan Natuna rata-rata perjalanannya 8 hari dan menghabiskan 60 kiloliter solar.
Rata-rata kapal nelayan Tegal hanya beroperasi sembilan bulan dalam setahunnya, dan tiga bulan libur selama periode puasa, lebaran dan beberapa saat pasca Lebaran.
Baca juga: Kepala Bakamla Sebut Situasi di Laut Natuna Utara Aman Terkendali
Isu utama yang mengganggu adalah perihal otonomi kawasan laut. Nelayan Tegal yang menggunakan cantrang sebagai alat tangkap datang ke perairan Natuna karena imbauan pemerintah agar mencari ikan di sana.
Tujuannya adalah untuk mengatasi nelayan-nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia.
Namun sayangnya, nelayan lokal di Natuna menolak kehadiran nelayan-nelayan dari Tegal. Mereka merasa alat tangkap cantrang yang digunakan oleh para pendatang tersebut akan menyulitkan mereka memperoleh ikan dengan menggunakan alat tangkap tradisional.
Baca juga: TNI AL Amankan Kapal Ikan Berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara
Nelayan Natuna mencari ikan di perairan dekat pantai saja, dan tujuan mencari ikan hanya untuk keperluan subsistensi saja atau lebih untuk dikonsumsi sendiri.
Mereka mengusir nelayan-nelayan Tegal dengan cara mengganggunya, misalnya dengan melempari batu bahkan di waktu yang lalu konon pernah terjadi pembakaran perahu cantrang.
Akhirnya nelayan lokal dan nelayan cantrang pun melakukan perdamaian dengan cara musyawarah. Hasilnya, nelayan cantrang diperbolehkan menangkap ikan di daerah perairan perbatasan, sekitar 30 mil dari garis pantai.
Hal ini menyulitkan nelayan cantrang karena perairan yang diijinkan sudah memasuki kawasan laut dalam yang kuat arusnya. Alhasil perolehan tangkapan sangat kurang, sebagai contoh salah satu kapal nelayan Cantrang dari Tegal tahun ini mengalami kerugian sekitar Rp 500 juta.
Baca juga: Pertebal Kekuatan Pertahanan Udara, KSAU Resmikan 4 Satuan Baru di Natuna
Regulasi otonomi daerah memang juga mengatur kawasan perairan laut, tapi regulasi tersebut bukan berarti pemilikan sumber daya laut mutlak kepunyaan orang lokal.
Undang-Undang Otonomi Daerah sesungguhnya lebih menekankan pada pengawasan daerah serta lautnya dan pengaturan eksploitasi alam dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan laut.
Belakangan ini Laut Natuna memanas dengan klaim pemilikan sepihak oleh China atas Laut China Selatan yang berdekatan dengan perairan Natuna yang termasuk wilayah Indonesia.
Beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Malaysia memrotes tindakan China yang tidak mematuhi kesepakatan UNCLOS tentang batas teritorial perairan laut suatu negara.
Indonesia terkena imbasnya karena aktivitas kapal-kapal perang China di perbatasan perairan Laut Natuna. Tidak hanya itu perahu nelayan China juga dikabarkan sering memasuki perairan Indonesia dalam mencari ikan.
Menurut keterangan nelayan Tegal, nelayan-nelayan ilegal tersebut membawa senjata dan dengan alat tangkap trawl. Nelayan lokal tidak berani bertindak untuk mengusir nelayan ilegal tersebut karena mereka bersenjata.
Sebaliknya, nelayan cantrang dari Tegal diusir oleh mereka dengan alasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Akhir-akhir ini suasana di perbatasan Laut Natuna semakin memanas dengan kehadiran kapal perang China dan adanya kapal survei yang diduga telah beberapa kali memasuki perairan Indonesia.
Kegiatan kapal survei tersebut adalah memetakan sumber daya laut yang ada. Sementara itu nelayan-nelayan China dikabarkan dengan beraninya seringkali memasuki perairan Indonesia untuk menangkap ikan dengan dikawal oleh kapal-kapal perang China.
Kawasan perairan perbatasan memang rawan terhadap konflik antar negara, yang biasanya dimulai dengan konflik antar nelayan dari dua negara.
Pengawasan oleh pihak keamanan laut di daerah perbatasan laut seyogyanya diperketat. Merujuk bagaimana peran Suku Laut sebagai bagian dari angkatan Laut Sriwijaya yang mengamankan kawasan laut di daerah perbatasan, mestinya para nelayan di daerah perbatasan berpotensi untuk melakukan hal yang sama.
Peran utamanya para nelayan tersebut bukanlah untuk berperang melainkan mengawasi dan mengkomunikasikan hal-hal yang diduga akan menganggu keamanan Indonesia.
Nelayan-nelayan dari daerah lain, khususnya nelayan andun, juga bisa diminta untuk berlayar ke perbatasan memperkuat armada pencari ikan Indonesia, sekaligus memainkan peran dalam hal pengawasan dan mengkomunikasikan hal-hal yang kurang baik bagi keamanan Indonesia.
Kolaborasi ALRI (TNI Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan nelayan-nelayan perbatasan seyogyanya diperkembangkan dan dirancang supaya solid dalam menangkal gangguan dari luar.
Luasnya wilayah perairan Indonesia dan keterbatasan personil serta armada ALRI selama ini telah menyebabkan maraknya kehadiran nelayan-nelayan ilegal dan meningkatnya potensi gangguan dari luar.
Cara untuk menutup kelemahan tersebut diantaranya adalah selain memodernisasi armada tempur kita dengan teknologi dan personil yang handal, seyogyanya disertai kolaborasi dengan nelayan-nelayan yang mencari ikan di kawasan perairan perbatasan.
***
Dr Andy Ahmad Zaelany, Peneliti PR Kependudukan BRIN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.