JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) angkat bicara terkait polemik Peraturan Mendikbud Ristek 30/2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Komnas HAM berpandangan, isi kebijakan tersebut sudah dengan sejalan dengan perlindungan HAM dan berperspektif keadilan gender.
“Substansi dari Permendikbud Ristek itu sejalan dengan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dan memiliki perspektif keadilan gender yang kuat,” kata Wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin kepada wartawan, Kamis (11/11/2021).
Baca juga: Dukung Permendikbud PPKS, Jaringan Gusdurian: Jamin Keadilan Korban Kekerasan Seksual
Aturan ini juga sudah sesuai dengan Pasal 29 Undang-undang (UU) Nomor 39/1999 tentang HAM yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.”
Amiruddin menyatakan, hak dalam UU 39/1999 ini mencakup hak atas rasa aman.
“Kampus sudah seharusnya menjadi tempat bagi terlindunginya hak atas rasa aman tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, penerbitan Permendikbud Ristek soal PPKS ini sudah tepat waktu.
Komnas HAM mendukung pemberlakuan beleid tersebut untuk mencegah kekerasan seksual, serta menjadi dasar untuk mengambil tindakan hukum kepada pelakunya.
“Belakangan ini kerap muncul kepermukaan terjadinya kekerasan seksual di kalangan Kampus,” tambah dia.
Baca juga: Permendikbud PPKS Dinilai sebagai Langkah Progresif Restorasi Hukum Kekerasan Seksual
Adapun, kebijakan yang dikeluarkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 ini mendapatkan respons pro dan kontra.
Kritik keras terkait permendikbud ristek ini terkait adanya consent atau persetujuan lewat yang dinilai sebagai bentuk legalisasi perzinaan.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad di keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Pasal 5 Permendikbud Ristek 30/2021 memuat unsur consent atau persetujuan kedua pihak sebagai kriteria bentuk kekerasan seksual.
Jika korban tidak memberikan consent, tindakan itu merupakan bentuk kekerasan seksual.
Baca juga: Permendikbud Ristek 30/2021: Perguruan Tinggi Wajib Evaluasi Pencegahan Kekerasan Seksual
Secara terpisah pada Rabu (10/11/2021), Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kemendikbud Ristek, Nizam menegaskan, consent ini merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait suatu tindak kekerasan, bukan melegalkan zina.
Ia menegaskan, aturan ini hanya fokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian juga mengatakan perlu ada jaminan bahwa korban kekerasan seksual yang mengalami pemaksaan tidak akan turut dihukum sebagai pelaku tindakan asusila.
"Formulasi 'tanpa persetujuan korban' itu kan sebetulnya bertujuan untuk menjamin bahwa korban tidak akan turut mengalami sanksi dari kampus setelah mengalami pemaksaan oleh pelaku kekerasan seksual, sehingga korban pun merasa aman dan bebas untuk mengadukan kasusnya," kata Hetifah, Kamis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.