Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herzaky Mahendra Putra
Pemerhati Politik

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Mahasiswa Program Doktoral Unair

Juru Bicara Presiden

Kompas.com - 11/11/2021, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Herzaky Mahendra Putra

MINGGU-MINGGU ini, posisi juru bicara presiden kembali menyita perhatian publik. Bukan karena informasi yang disampaikannya memang ditunggu-tunggu. Bukan pula karena perilakunya yang mengundang kontroversi, melainkan karena sosok yang selama ini menjadi juru bicara presiden sejak 21 Oktober 2019, Fadjroel Rachman, dilantik menjadi duta besar.

Pertanyaan besar kemudian mengemuka, siapa yang bakal mengisi kursi sestrategis ini selanjutnya? Kriteria apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang juru bicara presiden?

Belum usai pembahasan mengenai dua pertanyaan di atas, muncul pertanyaan baru setelah dua minggu berlalu sejak pelantikan Fadjroel sebagai duta besar di Istana Kepresidenan pada 25 Oktober 2021, dan posisi juru bicara Presiden ini masih belum terisi.

Apakah Presiden memerlukan seorang juru bicara? Pertanyaan sederhana, tetapi sangat mendasar dan perlu kita bedah.

Berbicara perlu atau tidaknya juru bicara kepresidenan, di satu sisi kita harus memahami kalau ini merupakan hak prerogatif Presiden.

Apakah Presiden merasa perlu seorang juru bicara secara khusus untuk menjelaskan berbagai kebijakan dan sikap pemerintahan ini dalam berbagai isu, ataukah cukup diserahkan kepada juru bicara di Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kantor Staf Presiden, ataupun masing-masing kementerian?

Jika Presiden merasa ada sosok yang tepat dan bisa membantunya dalam mengomunikasikan pilihan kebijakan dan sikap beliau ke publik, tentu sudah sewajarnya jika posisi jubir presiden segera diisi kembali.

Perspektif komunikasi politik

Hanya, dari perspektif komunikasi politik (McNair, 2018), juru bicara kepresidenan merupakan suatu kebutuhan bagi publik.

Di era keterbukaan informasi dan begitu majunya akses komunikasi, perlu ada satu sosok yang secara intens membantu Presiden berkomunikasi kepada publik.

Karena, pertama, publik berhak untuk tahu dan memahami, right to know, apa kebijakan dan pilihan sikap presiden dalam isu-isu strategis. Termasuk mengapa kebijakan atau sikap tertentu yang dipilih oleh Presiden, dan bukan kebijakan atau sikap lainnya. Karena bagaimanapun, apapun langkah yang Presiden tempuh, berpengaruh besar bagi jutaan rakyat Indonesia.

Kedua, publik perlu mendapatkan kepastian, sumber informasi mana yang bisa dirujuk untuk mengetahui kebijakan dan sikap yang dipilih oleh Presiden atau pemerintah. Siapa yang benar-benar mewakili suara resmi pemerintah atau presiden.

Karena, berdasarkan pengalaman di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, terlalu banyak pihak yang mengklaim mewakili Presiden, seperti yang diutarakan mantan juru bicara Presiden Joko Widodo, Johan Budi.

Berbeda dengan era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan juga almarhum Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid. Di masa dua presiden ini, ada juru bicara kepresidenan sebagai sumber informasi pasti dan aktif yang bisa dirujuk mewakili presiden atau pemerintah secara resmi.

Ketiga, mencermati kondisi riil di lapangan akhir-akhir ini, saat seringkali antar kementerian atau instansi memiliki penjelasan berbeda mengenai kebijakan atau sikap tertentu, keberadaan Jubir Presiden menjadi semakin relevan sebagai sumber informasi yang utama.

Persoalannya, seperti yang disampaikan Andi Mallarangeng, mantan juru bicara Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, kalau tidak ada jubir, lama-lama tuntutan publik untuk presiden bicara pasti akan ada karena tidak puas hanya dengan pejabat-pejabat yang mewakili.

Padahal, jika Presiden berbicara terus-menerus, ada kemungkinan bisa salah dan membuat publik bertambah bingung. Karena itulah, posisi jubir untuk Presiden dari perspektif komunikasi publik, sangatlah penting.

Tiga kriteria

Jika Presiden memutuskan memilih juru bicara, tiga faktor yang sebaiknya dipenuhi. Pertama, sosok jubir yang dipilih benar-benar setarikan napas dengan Presiden.

Tentunya sangat tidak tepat jika memilih sosok yang mewakili Presiden, tetapi tidak mengetahui kemauan Presiden. Apalagi memilih sosok yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Presiden.

Kedua, sosok yang memiliki pemahaman mendalam atas setiap pilihan kebijakan dan sikap Presiden. Karena itu, seorang juru bicara mesti memiliki akses langsung kepada Presiden, tanpa ada saringan, apalagi halangan.

Dengan memiliki pemahaman mendalam, juru bicara Presiden bisa meminimalisasi potensi disinformasi saat menjelaskan mengenai suatu kebijakan atau sikap Presiden.

Ketiga, sosok yang benar-benar bisa dipercaya saat menyampaikan informasi. Punya integritas dan kredibilitas tinggi. Apa yang disampaikannya berbasiskan data dan fakta, serta merupakan hal yang sebenarnya terjadi. Bukan sekedar untuk menenangkan saja, apalagi lip service belaka.

Tiga kriteria ini diperlukan karena juru bicara Presiden itu tugasnya memberikan penjelasan mengenai suatu isu atau permasalahan agar menjadi terang-benderang. Bukan malah membuat masyarakat semakin bingung atas pilihan sikap atau kebijakan Presiden.

Tujuan komunikasi politik adalah memberikan kejelasan, bukannya malah menjadi noise baru (Brants & Voltmer, 2011).

Meminimalisasi noise

Apalagi jika kita mencermati kondisi terkini saat ruang publik kita seharusnya merupakan ruang terbuka bagi semua (Habermas, dalam Fuchs, 2021). Kenyataannya, malah menjadi ruang yang cenderung didominasi oleh pasukan siber yang bergerak sesuai dengan orderan.

Sibuk merekayasa isu dan menebar dusta untuk mengelabui pikiran banyak orang. Membuat kita tidak lagi menangkap voice atau suara sebenarnya dari publik, melainkan sekadar mendengarkan noise yang dikreasi secara terorganisasi oleh pasukan siber, seperti yang diungkap oleh Wijayanto dan Ward (2021) dalam insideindonesia.org.

Kondisi ini membuat relevansi keberadaan juru bicara Presiden semakin meningkat. Bukan saja berfungsi memberikan informasi pasti dan jelas, melainkan juga memberikan pesan kuat sekaligus mengedukasi publik, agar lebih memercayai informasi dari sumber resmi. Bukan dari desas-desus, maupun kasak-kusuk.

Dengan demikian, ruang pasukan siber atau yang biasa disebut pendengung untuk membuat noise atau disinformasi meluas secara sengaja dapat diminimalisasi. Upaya eksploitasi ketidakpahaman publik yang dilakukan pasukan siber pun bisa kita kurangi (Christian & Mosco, 2015).

Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com