Persoalannya, seperti yang disampaikan Andi Mallarangeng, mantan juru bicara Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, kalau tidak ada jubir, lama-lama tuntutan publik untuk presiden bicara pasti akan ada karena tidak puas hanya dengan pejabat-pejabat yang mewakili.
Padahal, jika Presiden berbicara terus-menerus, ada kemungkinan bisa salah dan membuat publik bertambah bingung. Karena itulah, posisi jubir untuk Presiden dari perspektif komunikasi publik, sangatlah penting.
Jika Presiden memutuskan memilih juru bicara, tiga faktor yang sebaiknya dipenuhi. Pertama, sosok jubir yang dipilih benar-benar setarikan napas dengan Presiden.
Tentunya sangat tidak tepat jika memilih sosok yang mewakili Presiden, tetapi tidak mengetahui kemauan Presiden. Apalagi memilih sosok yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Presiden.
Kedua, sosok yang memiliki pemahaman mendalam atas setiap pilihan kebijakan dan sikap Presiden. Karena itu, seorang juru bicara mesti memiliki akses langsung kepada Presiden, tanpa ada saringan, apalagi halangan.
Dengan memiliki pemahaman mendalam, juru bicara Presiden bisa meminimalisasi potensi disinformasi saat menjelaskan mengenai suatu kebijakan atau sikap Presiden.
Ketiga, sosok yang benar-benar bisa dipercaya saat menyampaikan informasi. Punya integritas dan kredibilitas tinggi. Apa yang disampaikannya berbasiskan data dan fakta, serta merupakan hal yang sebenarnya terjadi. Bukan sekedar untuk menenangkan saja, apalagi lip service belaka.
Tiga kriteria ini diperlukan karena juru bicara Presiden itu tugasnya memberikan penjelasan mengenai suatu isu atau permasalahan agar menjadi terang-benderang. Bukan malah membuat masyarakat semakin bingung atas pilihan sikap atau kebijakan Presiden.
Tujuan komunikasi politik adalah memberikan kejelasan, bukannya malah menjadi noise baru (Brants & Voltmer, 2011).
Apalagi jika kita mencermati kondisi terkini saat ruang publik kita seharusnya merupakan ruang terbuka bagi semua (Habermas, dalam Fuchs, 2021). Kenyataannya, malah menjadi ruang yang cenderung didominasi oleh pasukan siber yang bergerak sesuai dengan orderan.
Sibuk merekayasa isu dan menebar dusta untuk mengelabui pikiran banyak orang. Membuat kita tidak lagi menangkap voice atau suara sebenarnya dari publik, melainkan sekadar mendengarkan noise yang dikreasi secara terorganisasi oleh pasukan siber, seperti yang diungkap oleh Wijayanto dan Ward (2021) dalam insideindonesia.org.
Kondisi ini membuat relevansi keberadaan juru bicara Presiden semakin meningkat. Bukan saja berfungsi memberikan informasi pasti dan jelas, melainkan juga memberikan pesan kuat sekaligus mengedukasi publik, agar lebih memercayai informasi dari sumber resmi. Bukan dari desas-desus, maupun kasak-kusuk.
Dengan demikian, ruang pasukan siber atau yang biasa disebut pendengung untuk membuat noise atau disinformasi meluas secara sengaja dapat diminimalisasi. Upaya eksploitasi ketidakpahaman publik yang dilakukan pasukan siber pun bisa kita kurangi (Christian & Mosco, 2015).
Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.