Menteri Keuangan Singapura Lawrence Wong dalam jumpa pers pada 28 Mei 2021 pun mengatakan, ”Kita tengah mempersiapkan skenario setelah para ilmuwan di seluruh dunia sampai pada kesimpulan bahwa sangatlah tidak mungkin membasmi virus Corona. Virus ini tidak akan pernah pergi sehingga kita harus belajar hidup bersamanya.”
Pemerintah Singapura akhirnya mulai mempersiapkan roadmap untuk hidup normal bersama Covid-19 sejak 18 Juni 2021. Singapura sadar bahwa Covid-19 adalah keniscayaan.
Di hadapan keniscayaan Covid-19, yang diperlukan adalah sikap rendah hati untuk menerimanya. Dengan menerima Covid-19, Singapura juga siap menerima segala keniscayaan yang mengikutinya.
Salah satu contoh keniscayaan itu ialah hari-hari ini Singapura tengah berjibaku dengan virus Corona varian Delta. Delta hanyalah salah satu varian dari sekian banyak varian Corona yang bermutasi di ekosistem dunia ini. Ada varian Lambda, varian Mu, dan entah varian apa lagi nanti.
Di hadapan segala varian Corona itu, Singapura terus memupuk sikap penerimaan, salah satunya dengan vaksinasi. Sampai 7 Oktober 2021, sekitar 85 persen penduduk Singapura telah menerima vaksin.
Sikap penerimaan lain yang ditunjukkan Singapura ialah menggunakan masker. Pemerintah Singapura membuat aturan yang mewajibkan siapa pun yang berada di “the Asian business hub” ini untuk memakai masker.
Siapa saja yang melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi denda ataupun penjara. Aturan ini, misalnya, memperlihatkan tajinya dalam kasus seorang warga Singapura yang kedapatan tidak memakai masker di lingkungan tempat tinggalnya.
Pada 30 Juli 2021, dia dibawa ke pengadilan untuk menghadapi dakwaan dengan ancaman hukuman denda maksimal 10.000 dollar Singapura dan penjara maksimal enam bulan.
Warga tersebut kedapatan berkali-kali tidak memakai masker dan tetangga yang merasa terganggu juga sudah berkali-kali mengingatkan dan menegurnya.
Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan berulang kali ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman warga tersebut, memakai masker bukanlah hal penting. Adapun bagi tetangga, memakai masker merupakan hal penting untuk melindungi keselamatan hidup diri sendiri dan liyan, selain juga merupakan aturan yang wajib dijalani.
Fenomena ini merupakan salah satu gambaran riil dari potensi konflik yang muncul ketika hidup bersama Covid19.
Singapura memperlihatkan bahwa hidup bersama Covid-19 berarti hidup bersama konflik. Konflik tidak ditolak, tetapi diterima sebagai bagian dari hidup.
Jika menolak konflik, menurut Friedrich Nietzsche, artinya menolak hidup itu sendiri. Bagi Nietzsche, hidup itu putih sekaligus hitam, baik sekaligus jahat, damai sekaligus konflik atau perang. Hidup adalah dua-duanya.
Jika manusia menginginkan atau menolak hanya salah satu, damai saja atau perang saja, artinya ia menolak hidup ini. Di hadapan perang, filsuf Jerman itu mengafirmasi dan menerimanya karena “Apa yang tidak membunuhku menguatkanku,” ujar Nietzsche dalam aforisme § 8 di buku Twilight of the Idols.
Perang yang dimaksud Nietzsche tentu bukan perang dalam adagium Latin Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum—yakni adu kekuatan fisik atau senjata.
Perang dalam pandangan Nietzsche adalah adu pemikiran atau argumen. Adu argumen ini dalam praktiknya bisa hadir dalam bentuk debat, dialog, “perang” tulisan, bahkan perang mulut seperti dalam kasus warga Singapura di atas.
Nietzsche tidak menulis buku yang secara khusus berbicara tentang wabah, pageblug, pandemi, atau epidemi seperti Albert Camus dengan The Plague atau Giorgio Agamben dengan Where Are We Now? The Epidemic as Politics.
Meski demikian, Nietzsche yang hidup pada 1844-1900 menyinggung pageblug kolera pada abad XIX dalam penggalan aforisme § 36 di buku Twilight of the Idols yang diterbitkan pada 1889.
Pageblug kolera menghantam dunia mula-mula di India pada 1817 kemudian menyebar ke banyak negara tak terkecuali Indonesia dan Jerman.
Pada 1820 di Jawa (Indonesia) saja, korban meninggal karena kolera lebih dari 100.000 jiwa. Adapun pada 1892 di Hamburg (Jerman), 1,5 persen populasinya lenyap disapu kolera.
Nietzsche menengarai bahwa angka kematian akibat kolera tidak berubah dari tahun ke tahun. Tengara Nietzsche ini salah karena faktanya angka kematian akibat kolera berubah setiap tahun.
Meskipun salah, tengara Nietzsche ini hendak menunjukkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio cholerae ini tidak dapat dienyahkan.
Vibrio cholerae hidup bebas di alam, terutama di daerah perarian, seperti sungai, danau, rawa, sawah, sumur, ledeng, dan mata air.
Manusia butuh air. Dari bangun pagi sampai istirahat malam hari, manusia tidak lepas dari air: mandi, minum kopi, cuci sayuran, cuci tangan, cuci pakaian, cuci piring, cuci kendaraan, menyirami tanaman, ataupun mengolah sawah.
Sains pun membuktikan bahwa lebih kurang 60 persen tubuh manusia tersusun dari air. Thales, filsuf pra-Socrates, bahkan meyakini bahwa hakikat segala sesuatu adalah air.
Gaya hidup sehat masyarakat dan kemajuan teknologi fabrikasi pengolahan air secara signifikan mengurangi dampak penyebaran Vibrio cholerae.
Namun, terlepas dari gaya hidup sehat dan kecanggihan teknologi, tidak dapat dinafikan bahwa “hantu” Vibrio cholerae sampai detik ini masih gentayangan.
Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa dari September 2019 sampai September 2020, wabah kolera melanda 16 negara dengan total lebih dari 450.000 kasus yang merenggut nyawa 900 jiwa.
Para ilmuwan, sebagaimana dikutip WHO, memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta sampai 4 juta kasus kolera dengan korban meninggal 21.000-143.000 jiwa.
Nietzsche adalah anak zamannya. Andaikan ia hidup pada zaman ini dan saat ini, ia akan merekam Covid-19 seperti kolera pada zamannya.
Kolera memang lebih “senior” karena lahir mendahului Covid-19. Namun, seturut penyebabnya, kolera dan Covid-19 sebenarnya berbagi ruang dan waktu yang sama, yakni penyakit yang senantiasa menemani hidup manusia, kapan pun dan di mana pun.
Bagi Nietzsche, penyakit—tidak terbatas pada kolera dan Covid-19—adalah elan kehidupan.