JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, tingginya angka suara tidak sah pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Tahun 2019 mesti menjadi refleksi bagi DPD di usianya yang menginjak 17 tahun pada 2021.
Titi mengungkapkan, berdasarkan hasil Pemilu 2019, terdapat 29.710.175 suara tidak sah pada pemilihan anggota DPD atau setara dengan 19,02 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan jenis pemilu lainnya.
"Ini harusnya menjadi momen refleksi ya di usia 17 tahun DPD, ini adalah tingkat suara tidak sah tertinggi dari Pemilu DPD sejak eksistensi DPD dari Pemilu 2004," kata Titi dalam dalam sebuah sebuah diskusi bertajuk "17 Tahun DPD, Apa Kabar Kini?" yang disiarkan akun YouTube Formappi, Jumat (1/10/2021).
Baca juga: LaNyalla Harap Amendemen Konstitusi Beri Penguatan Peran Kelembagaan DPD
Padahal, kata Titi, desain surat suara DPD jauh lebih mudah untuk dipahami oleh para pemilih.
Sebab, dalam surat suara DPD, terpampang wajah, nomor urut, dan nama calon anggota DPD, berbeda dengan surat suara calon anggota DPR/DPRD yang hanya mencantumkan nama dan nomor urut calon.
Menurut Titi, situasi tersebut bisa jadi menandakan DPD tidak dianggap penting bagi masyarakat sehingga publik tidak peduli dengan keberadaan lembaga tersebut.
"Jangan-jangan ini merefleksikan ya pertama orang memang tidak kenal institusi DPD itu apa, jadi pemahaman, pengetahuan, kesadaran soal eksistensi DPD itu buruk," ujar Titi.
Ia menekankan, sejauh ini memang belum ada riset yang menguak penyebab terjadinya banyak suara tidak sah.
Namun, ia berasumsi bahwa hal itu terjadi karena kompleksitas penyelenggaraan pemilu yang membuat masyarakat harus mencoblos lima surat suara di mana DPD tidak menjadi prioritas.
Baca juga: DPD Diminta Menjauh dari Isu Amendemen Konstitusi untuk Hadirkan PPHN
"Saya menduga di tengah kompleksitas pemilu serentak lima surat suara, pemilih kita tidak menganggap penting posisi DPD, DPD tidak dianggap terlalu krusial dalam mereka menentukan suaranya," kata Titi.
Hal itu berbeda dengan anggota DPR/DPRD yang bernaung di sebuah partai politik yang memiliki ikatan dengan para pemilih sehingga publik bisa memilih partai politik jika tidak kenal dengan calon anggota legislatifnya.
Oleh karena itu, ia berharap hal itu benar-benar dievaluasi karena biaya politik dalam pemilihan anggota DPD pun jauh lebih besar dibandingkan pemilihan anggota DPD/DPRD karena daerah pemilihannya yang mencakup satu provinsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.