Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras: Pembela HAM Sering Dianggap Musuh Negara

Kompas.com - 06/09/2021, 23:11 WIB
Tatang Guritno,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Pihak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan, pemerintah sering menganggap bahwa pembela hak asasi manusia (HAM) sebagai musuh negara.

Padahal, menurut Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, para pembela HAM bekerja untuk membela masyarakat dan memastikan situasi negara lebih baik.

“Tapi orang-orang yang bekerja di untuk memperjuangkan HAM selalu dianggap musuh negara, pembuat onar, dibungkam, diancam, diintimidasi atau dibunuh,” kata Fatia dalam diskusi virtual yang diadakan Tim Public Virtue Research Institute dan Themis Indonesia, Senin (6/9/2021).

Baca juga: Imparsial: Komnas HAM Jadi Harapan Terdepan Penuntasan Kasus Munir

Fatia menyampaikan, lima tahun terakhir angka kekerasan pada pembela HAM cukup tinggi.

Para pembela HAM, menurut dia, bukan sekedar sebutan untuk mereka yang bekerja di organisasi masyarakat sipil, tetapi juga masyarakat yang mempertahankan hak-hak asasinya dan hak asasi orang disekitarnya.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, Fatia menyebut, kekerasan pada pembela HAM cukup tinggi, terutama jika terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA).

“Di mana itu seiring dengan agenda pembagunan infrastruktur yang jadi prioritas presiden kita saat ini,” kata dia.

Menurut Fatia, banyak kasus kekerasan pada pembela HAM atau pun masyarakat di wilayah pembangunan infrastruktur menunjukan tidak adanya kesinambungan antara kesetaraan HAM dan proses pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

“Katanya agenda pembangunan tersebut untuk mempermudah masyarakat, untuk masyarakat, untuk kemajuan negara ini,” ucap Fatia.

“ironinya disamping itu ternyata yang dibuat menderita adalah masyarakat itu sendiri,” kata dia.

Baca juga: Komnas HAM Surati Jokowi, Minta Penyelidikan Pihak yang Diduga Terlibat Pembunuhan Munir

Fatia menegaskan bahwa kekerasan pada pembela HAM akan terus terjadi selama tidak ada pengungkapan kasus pembunuhan Munir Said Thalib.

Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah, menurut dia, adalah dengan membuka data dari Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir pada masyarakat.

Dalam pandangan Fatia, jika fakta-fakta kematian Munir tidak disampaikan secara transparan,  akan menunjukan bahwa pemerintah tidak pernah serius untuk menyelesaikan kasus tersebut.

“Juga mencerminkan pemerintah takut dan enggan menyelesaikan karena banyak pelanggaran HAM berat yang (jika diselesaikan) akan mengorbankan stabilitas politik, karena orang-orang yang terlibat masih ada dalam pemerintahan,” ucap dia.

Aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda melalui Singapura pada 7 September 2004.

Ia diduga meninggal dua jam sebelum pesawat Garuda Indonesia bernomor GA-974 yang ditumpanginya mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.

Hasil otopsi menunjukan adanya senyawa arsenik dalam tubuh munir.

Baca juga: KASUM: Pembunuhan Munir adalah Pelanggaran HAM Berat

Kemudian, dalam persidangan mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan tersebut dan menjalani hukuman selama 14 tahun penjara.

Namun banyak pihak masih merasa bahwa aktor utama dari pembunuhan Munir belum terungkap sampai saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com