Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaji Lili Pintauli Dipotong karena Langgar Etik, Pukat: Harusnya Diminta Mundur

Kompas.com - 30/08/2021, 16:28 WIB
Tatang Guritno,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Sanksi yang dijatuhkan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dinilai terlalu lembek.

Adapun Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melakukan komunikasi dengan Wali Kota Nonaktif Tanjungbalai, M Syahrial terkait dugaan suap lelang jabatan di Pemkot Tanjungbalai tahun 2020.

“Perbuatan Lili merupakan pelanggaran berat kode etik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020,” kata Zaenur dikonfirmasi Kompas.com, Senin (30/8/2021).

Baca juga: Sanksi Etik Lili Pintauli Jadi Pukulan Baru untuk KPK Periode Firli

Zaenur menyebut, sanksi yang diberikan Dewas KPK dengan memotong 40 persen gaji pokok Lili merupakan sanksi ringan.

Sebab, menurut dia, gaji pokok Wakil Ketua KPK hanya bagian kecil dari penghasilan setiap bulan.

“Gaji pokok hanya sekitar 4,6 juta sedangkan THP (take home pay) perbulan sekitar 89 juta. Jadi potongan gaji pokok tidak banyak berpengaruh terhadap penghasilan bulanan,” kata dia.

Dalam pandangan Zaenur, mestinya Dewas KPK menjatuhkan sanksi pada Lili berupa permintaan pengunduran diri. Hal itu diatur dalam Pasal 10 Ayat (4) huruf b Perdewas Nomor 2 Tahun 2020.

“Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara. Bahkan, perbuatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi merupakan perbuatan pidana,” kata dia.

Zaenur mengatakan bahwa tindakan Lili tersebut dapat diancam pidana maksimal 5 tahun penjara sesuai dengan Pasal 36 UU Nomor 30 Tahun 2002 juncto UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Baca juga: Dipotong 40 Persen Gaji Pokok, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Masih Dapat Tunjangan Rp 107,9 Juta

Menurut dia, berhubungan dengan pihak berperkara dilarang dilakukan pegawai KPK karena akan menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan.

“Perkara juga menjadi rawan bocor kepada pihak luar jika ada hubungan antara insan KPK dengan pihak berperkara, sehingga KPK akan sulit menangani perkara tersebut, bahkan perkara bisa berujung gagal ditangani,” kata dia.

Dewas KPK menjatuhkan hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan pada Lili.

Anggota Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.

Adapun dalam memberikan sanksi pada Lili, Dewas KPK menjelaskan hal-hal yang meringankan dan memberatkan.

Baca juga: Eks Pimpinan KPK: Sanksi Potong Gaji Lili Pintauli Sangat Lucu dan Ecek-ecek

Hal yang meringankan yakni Lili mengakui perbuatannya dan tidak pernah dijatuhi sanksi etik sebelumnya.

Sementara itu itu, hal yang memberatkan putusan adalah Lili tidak menunjukan penyesalan atas perbuatannya.

Selain itu, Lili sebagai pimpinan KPK semestinya memberikan teladan dalam pemeriksaan di KPK, tetapi ia justru melakukan hal sebaliknya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com