Betul kata mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, "Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat."
Kasus penghapusan mural bergambar wajah Presiden Joko Widodo yang ditutupi dengan tulisan “404 Not Found” di Batuceper, Kota Tangerang, Banten dan penghapusan mural yang memampang tulisan “Dipaksa Sehat di Negara Sakit” di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur beberapa hari yang lalu, menjadi polemik dari yang menentang tindakan aparat dengan pihak yang mendukung mural sebagai seni dan penyaluran aspirasi demokrasi.
Baca juga: Saat Mural Tuai Polemik, Mengapa Dihapus jika Jokowi Tidak Merasa Terganggu?
Mural sendiri berasal dari Bahasa Latin yakni dari kata “murus” yang berarti dinding. Secara luas pengertian mural adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen.
Ditilik dari sejarah, mural sudah ada sejak 31.500 tahun yang lalu tepatnya pada masa prasejarah.
Pada masa itu terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah gua di Lascaux, Perancis. Mural yang dibuat pada masa prasejarah tersebut menggunakan sari buah sebagai cat air mengingat pada saat masa prasejarah itu belum dikenal adanya cat.
Perancis juga dikenal sebagai negara terbanyak menggunakan mural sebagai medium komunikasi berupa pesan-pesan aspirasi politik.
Salah satu mural atau lukisan dinding yang paling terkenal yaitu mural karya Pablo Picasso. Picasso membuat sebuah mural yang dinamakan Guernica atau Guernica y Luno yang dibuat pada saat terjadinya peristiwa perang sipil di Spanyol pada tahun 1937.
Tujuan dibuatnya mural ini yaitu untuk memperingati peristiwa pengeboman tentara Jerman di sebuah desa kecil. Kebanyakan korbannya warga Spanyol (Imural.id, 18 Januari 2018).
Mural yang diributkan di Kota Tangerang dan Pasuruan bahkan para pelakunya tengah dicari aparat karena dianggap mengganggu kewibawaan presiden sebagai lambang negara (Kompas.com, 16 Agustus 2021) seyogyanya dianggap sebagai medium artikulasi politik yang dikemas dengan nilai seni.
Tindakan represif terhadap suatu karya seni menjadi simbol akan matinya benih-benih demokrasi yang telah lama disemai oleh penentang kekuasaan tanpa batas.
Bukankah demokrasi menyediakan begitu banyak ruang untuk berdebat dan ruang adu gagasan?
Tanpa perlu ditanggapi dengan represif, mural apabila tepat digunakan akan membantu perkembangan demokrasi bukan hanya pada tataran pembentukan ide-ide dan gagasan politik atau ideologi, melainkan juga pembentukan identitas politik.
Penggunaan mural dengan balutan aspirasi politik tidak hanya berpengaruh linier terhadap publik, tetapi juga dialektika reversal dalam membentuk identitas subyek politik.
Jika menggunakan pola pandang legalitas, dengan produk hukumnya berupa peraturan daerah tentang pemanfaatan ruang publik, maka ekspresi seni apapun akan sulit diterima untuk hadir di ruang publik.
Kompromitas beberapa pemerintah daerah yang mengizinkan ruang publik dipakai untuk kegiatan seni termasuk lukisan mural, tentu harus menjadi contoh ketika ekspresi seni dari seniman atau warga kota bisa diwadahi dengan baik.
Mengingat terminologi “menyinggung kewibawaan presiden sebagai simbol negara” bersifat kenyal dan multi tafsir, akan lebih bijak jika kasus mural di Tangerang dan Pasuruan ditanggapi dengan cara-cara yang tepat.
Mural Tangerang dan Pasuruan akan selalu menimbulkan sikap pro dan kontra yang tidak akan ada ujung pangkal untuk mempertemukan nilai seni dengan pola pandang pendekatan keamanan.
Sepanjang konten seni yang ada di mural tidak menyentuh aspek pelecehan dan penghinaan suku, agara, ras dan antar golongan (SARA) serta tidak merendahkkan martabat kemanusian, seharusnya mural bisa tetap eksis menjadi estetika yang memberi warna akan kegersangan lingkungan.
Pecinta seni sekalipun tidak akan terima – siapapun presidennya – jika presiden dihina dengan sarkas dan dilukiskan dengan tidak sopan.
Tidak akan bisa dicegah juga jika ada mural yang menggambarkan kerja keras presiden dalam menangani wabah yang juga menjadi pandemi di seluruh dunia.