Biarkan mural muncul apa adanya di ruang publik yang tersedia tanpa mengatur detail apa yang harus dimuralkan dan apa yang tidak boleh dimuralkan.
Mural jika diberi ruang dan kesempatan akan menjadi sarana yang efektif untuk mencegah vandalisme di tempat publik.
Keberadaan mural tidak bisa terlepas dari kondisi kehidupan yang tengah terjadi, baik secara sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.
Artinya eksistensi mural tidak bisa dilepaskan dengan ruang dan waktu. Membaca makna mural tidak harus dipahami secara tersurat tetapi juga yang tersirat.
Tidak saja konten dalam mural, pemaknaan dalam karya lukisan pun kerap menjadi debatable. Lukisan Djoko Pekik yang berjudul “Berburu Celeng” ada yang memaknai celeng dalam lukisan tersebut sebagai rezim Orde Baru yang zalim dan serakah, tetapi ada juga yang menilai lukisan tersebut hanyalah karya seni belaka tanpa konten politis.
Memahami mural “Dipaksa Sehat di Negeri Sakit” yang menjadi perbincangan di Pasuruan, Jawa Timur, dengan pemaknaan denotatif maupun konotatif, tentu memiliki pendapat yang berbeda.
Apapun pijakan pemaknaannya, seharusnya pesan-pesan yang pada mural menjadi masukan untuk langkah perbaikan yang akan ditempuh oleh pemerintah.
Bisa jadi, mural yang dibuat menghiasi dinding dan tembok suatu kota adalah katarsis dari pembuat mural akan kejenuhan akibat kebijakan Permberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berseri-seri tanpa ada kejelasan kapan roda kehidupan bisa berjalan normal.
Mungkin pula, mural menjadi jawaban akan semakin sesaknya ruang-ruang publik yang terdominasi dengan kehadiran baliho-baliho para politisi yang apatis dengan kondisi rakyat.
Rakyat yang tengah susah sandang pangan bukan butuh baliho tetapi butuh sembako dan pendapatan yang lancar.
Memandang dan memaknai mural janganlah dengan segala prasangka, anggap saja guyon dan lelucon penambah imun di masa pandemi.
Penulis buku “Heil Hitler - Babi Sudah Mati” yang juga sutradara film asal Jerman Rudolph Herzog menyatakan sebenarnya lelucon yang muncul di jalanan tidak hanya berusaha membuat orang atau pembaca tertawa.
Lelucon juga mencerminkan apa yang benar-benar memengaruhi, menghibur, dan membuat marah orang.
Lelucon meski menyangkut politik sekalipun sebenarnya bukan merupakan bentuk perlawanan aktif, melainkan malah bisa menjadi katup untuk kemarahan publik yang terpendam. Lelucon sebenarnya sebatas hanya untuk mengeluarkan semacan "uap" sambil tertawa.
Mungkin saja Presiden Joko Widodo terbahak lepas setelah melihat mural-mural tersebut. Bisa jadi hanya aparat-aparat saja yang susah tertawa melihat orang yang senang di kala imun mulai meningkat karena sudah divaksin.
Jokowi pasti paham dengan kalimat yang pernah diucapkan oleh Proklamator kita, Bung Karno.
"Aku lebih suka lukisan samudra yang gelombangnya menggebu-gebu daripada lukisan sawah yang adem ayem tentram."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.