Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Beringas Rezim Berangus Mural

Kompas.com - 17/08/2021, 14:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUATU ketika tiga ahli arkeologi dari tiga negara masing-masing Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia terlibat dalam eskavasi di negara Mesir.

Setelah berbulan-bulan melakukan penggalian, ditemukanlah mumi yang diperkirakan berusia ratusan tahun dan telah lama terpendam di padang pasir.

Saat pintu peti penyimpanan mumi terbuka, majulah arkeolog dari Amerika Serikat.  Betapa kagetnya dia saat mengetahui mumi tersebut bangkit dan bisa bicara.

“Kamu dari mana,”ujar mumi.

“Saya dari Amerika Serikat,” sebut Sang Arkeolog Amerika Serikat.

“Saya tidak tahu Amerika Serikat, pergi sana,” teriak lantang Sang Mumi.

Arkeolog Amerika Serikat ini akhirnya mundur dan tetap merasakan keanehan dengan penemuan hebat artefak sejarah ini.

Merasa lebih maju pengembangan arkeloginya ketimbang Indonesia, giliran arkeolog Inggris yang tampil ke depan.

”Kamu siapa,” lagi Si Mumi bertanya.

“Saya dari Inggris.”

“Kamu lagi dari Inggris, saya tambah nggak kenal. Cabut sana.”

Arkeolog Inggris pun menyusul tersingkir. 

Kini gilran arkeolog Indonesia yang ketakutan setengah mau pingsan.

“Hei kamu, jangan bengong saja. Kamu dari mana?”

“Sa....sayaaa....saya dari Indonesia,” arkeolog Indonesia menjawab tergagap sambil gemetar.

“Sini jangan takut, mendekatlah karena saya sangat mengenal Indonesia,” kata Sang Mumi.

Dengan ketakutan yang mulai hilang, arkeolog Indonesia akhirnya maju mendekat.

“Ngomong-ngomong Soeharto masih jadi presiden di negaramu?” tanya mumi.

Konon, saat mendengar cerita ini Presiden Soeharto hanya bisa tersenyum dan tidak merasa stabilitas politik nasional dalam ancaman.

Bapak Pembangunan Nasional ini ternyata bisa memaknai humor secara proporsional walau kalangan dekatnya merasa jengah atau malah Komando Keamanan dan  Ketertiban Nasional (Kopkamtib) – organ keamanan yang super body di masa Orde Baru – yang merasa murka.

Betul kata mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, "Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat."

Politik itu penuh kegembiraan

Kasus penghapusan mural bergambar wajah Presiden Joko Widodo yang ditutupi dengan tulisan “404 Not Found” di Batuceper, Kota Tangerang, Banten dan penghapusan mural yang memampang tulisan “Dipaksa Sehat di Negara Sakit” di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur beberapa hari yang lalu, menjadi polemik dari yang menentang tindakan aparat dengan pihak yang mendukung mural sebagai seni dan penyaluran aspirasi demokrasi.

Baca juga: Saat Mural Tuai Polemik, Mengapa Dihapus jika Jokowi Tidak Merasa Terganggu?

Mural sendiri berasal dari Bahasa Latin yakni dari kata “murus” yang berarti dinding. Secara luas pengertian mural adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen.

Ditilik dari sejarah, mural sudah ada sejak 31.500 tahun yang lalu tepatnya pada masa prasejarah.

Pada masa itu terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah gua di Lascaux, Perancis. Mural yang dibuat pada masa prasejarah tersebut menggunakan sari buah sebagai cat air mengingat pada saat masa prasejarah itu belum dikenal adanya cat.

Perancis juga dikenal sebagai negara terbanyak menggunakan mural sebagai medium komunikasi berupa pesan-pesan aspirasi politik.

Salah satu mural atau lukisan dinding yang paling terkenal yaitu mural karya Pablo Picasso. Picasso membuat sebuah mural yang dinamakan Guernica atau Guernica y Luno yang dibuat pada saat terjadinya peristiwa perang sipil di Spanyol pada tahun 1937.

Tujuan dibuatnya mural ini yaitu untuk memperingati peristiwa pengeboman tentara Jerman di sebuah desa kecil. Kebanyakan korbannya warga Spanyol (Imural.id, 18 Januari 2018).

Mural yang diributkan di Kota Tangerang dan Pasuruan bahkan para pelakunya tengah dicari aparat karena dianggap mengganggu kewibawaan presiden sebagai lambang negara (Kompas.com, 16 Agustus 2021) seyogyanya dianggap sebagai medium artikulasi politik yang dikemas dengan nilai seni.

Tindakan represif terhadap suatu karya seni menjadi simbol akan matinya benih-benih demokrasi yang telah lama disemai oleh penentang kekuasaan tanpa batas.

Bukankah demokrasi menyediakan begitu banyak ruang untuk berdebat dan ruang adu gagasan?

Tanpa perlu ditanggapi dengan represif, mural apabila tepat digunakan akan membantu perkembangan demokrasi bukan hanya pada tataran pembentukan ide-ide dan gagasan politik atau ideologi, melainkan juga pembentukan identitas politik.

Penggunaan mural dengan balutan aspirasi politik tidak hanya berpengaruh linier terhadap publik, tetapi juga dialektika reversal dalam membentuk identitas subyek politik.

Jika menggunakan pola pandang legalitas, dengan produk hukumnya berupa peraturan daerah tentang pemanfaatan ruang publik, maka ekspresi seni apapun akan sulit diterima untuk hadir di ruang publik.

Kompromitas beberapa pemerintah daerah yang mengizinkan ruang publik dipakai untuk kegiatan seni termasuk lukisan mural, tentu harus menjadi contoh ketika ekspresi seni dari seniman atau warga kota bisa diwadahi dengan baik.

Mengingat terminologi “menyinggung kewibawaan presiden sebagai simbol negara” bersifat kenyal dan multi tafsir, akan lebih bijak jika kasus mural di Tangerang dan Pasuruan ditanggapi dengan cara-cara yang tepat.

Mural Tangerang dan Pasuruan akan selalu menimbulkan sikap pro dan kontra yang tidak akan ada ujung pangkal untuk mempertemukan nilai seni dengan pola pandang pendekatan keamanan.

Sepanjang konten seni yang ada di mural tidak menyentuh aspek pelecehan dan penghinaan suku, agara, ras dan antar golongan (SARA) serta tidak merendahkkan martabat kemanusian, seharusnya mural bisa tetap eksis menjadi estetika yang memberi warna akan kegersangan lingkungan.

Pecinta seni sekalipun tidak akan terima – siapapun presidennya – jika presiden dihina dengan sarkas dan dilukiskan dengan tidak sopan.

Tidak akan bisa dicegah juga jika ada mural yang menggambarkan kerja keras presiden dalam menangani wabah yang juga menjadi pandemi di seluruh dunia.

Biarkan mural muncul apa adanya di ruang publik yang tersedia tanpa mengatur detail apa yang harus dimuralkan dan apa yang tidak boleh dimuralkan.

Mural jika diberi ruang dan kesempatan akan menjadi sarana yang efektif untuk mencegah vandalisme di tempat publik.

Mural sebagai katarsis kepengapan hidup

Keberadaan mural tidak bisa terlepas dari kondisi kehidupan yang tengah terjadi, baik secara sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.

Artinya eksistensi mural tidak bisa dilepaskan dengan ruang dan waktu. Membaca makna mural tidak harus dipahami secara tersurat tetapi juga yang tersirat.

Tidak saja konten dalam mural, pemaknaan dalam karya lukisan pun kerap menjadi debatable. Lukisan Djoko Pekik yang berjudul “Berburu Celeng” ada yang memaknai celeng dalam lukisan tersebut sebagai rezim Orde Baru yang zalim dan serakah, tetapi ada juga yang menilai lukisan tersebut hanyalah karya seni belaka tanpa konten politis.

Memahami mural “Dipaksa Sehat di Negeri Sakit” yang menjadi perbincangan di Pasuruan, Jawa Timur, dengan pemaknaan denotatif maupun konotatif, tentu memiliki pendapat yang berbeda.

Apapun pijakan pemaknaannya, seharusnya pesan-pesan yang pada mural menjadi masukan untuk langkah perbaikan yang akan ditempuh oleh pemerintah.

Bisa jadi, mural yang dibuat menghiasi dinding dan tembok suatu kota adalah katarsis dari pembuat mural akan kejenuhan akibat kebijakan Permberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berseri-seri tanpa ada kejelasan kapan roda kehidupan bisa berjalan normal.

Mungkin pula, mural menjadi jawaban akan semakin sesaknya ruang-ruang publik yang terdominasi dengan kehadiran baliho-baliho para politisi yang apatis dengan kondisi rakyat.

Rakyat yang tengah susah sandang pangan bukan butuh baliho tetapi butuh sembako dan pendapatan yang lancar.

Memandang dan memaknai mural janganlah dengan segala prasangka, anggap saja guyon dan lelucon penambah imun di masa pandemi.

Penulis buku “Heil Hitler - Babi Sudah Mati” yang juga sutradara film asal Jerman Rudolph Herzog menyatakan sebenarnya lelucon yang muncul di jalanan tidak hanya berusaha membuat orang atau pembaca tertawa.

Lelucon juga mencerminkan apa yang benar-benar memengaruhi, menghibur, dan membuat marah orang.

Lelucon meski menyangkut politik sekalipun sebenarnya bukan merupakan bentuk perlawanan aktif, melainkan malah bisa menjadi katup untuk kemarahan publik yang terpendam. Lelucon sebenarnya sebatas hanya untuk mengeluarkan semacan "uap" sambil tertawa.

Mungkin saja Presiden Joko Widodo terbahak lepas setelah melihat mural-mural tersebut. Bisa jadi hanya aparat-aparat saja yang susah tertawa melihat orang yang senang di kala imun mulai meningkat karena sudah divaksin.

Jokowi pasti paham dengan kalimat yang pernah diucapkan oleh Proklamator kita, Bung Karno.

"Aku lebih suka lukisan samudra yang gelombangnya menggebu-gebu daripada lukisan sawah yang adem ayem tentram."

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com