WARGA suatu daerah di luar Pulau Jawa begitu bungah ketika tokoh yang diidolakan menang di kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Warga terbuai dengan janji-janji kampanyenya sehingga memilihnya di bilik suara.
Begitu menang dan usai dilantik, warga berbondong-bondong menemui pejabat baru itu. Ada yang mengucap selamat, ada juga yang menyodorkan bermacam-macam proposal.
Sang Kepala Daerah baru tanpa banyak bicara, memberikan secarik kertas kepada warga untuk penagihan nantinya kepada kepala dinas tertentu.
Pemegang proposal surau misalnya diberi selembar kertas warna biru, sementara pemilik proposal kegiatan syukuran kemenangan di Pilkada, mendapat secarik kertas berwarna hijau.
Begitu membuncah perasaan pemegang proposal ketika menghadap kepala dinas. Pemegang lembar kertas warna hijau diminta langsung menghadap juru bayar untuk menerima uang kontan. Sebaliknya pemegang kertas warna biru, diberi janji nanti akan diberi langsung kepala daerah.
Melihat nasib yang berbeda, tentu pemilik proposal yang mendapat secarik kertas warna biru protes langsung ke bupati yang dipilihnya.
Kepada penerima kertas berwarna biru, Pak Bupati berjanji semoga suatu saat nanti bisa melaksanakan permintaan itu.
Warga tentu saja kecewa dan melampiaskan kekesalannya langsung ke bupati karena ingkar dengan janji manis waktu kampanye.
Bupati pun tidak kalah sigap dengan mengucap,”Untung sudah saya beri janji. Coba kalau tidak saya kasih janji ?
Ternyata bukan hanya panitia pembangunan surau, warga lain yang meminta bantuan beasiswa untuk siswa miskin berprestasi juga mendapat kupon warna biru.
Nasib pemegang secarik kertas warna biru juga menimpa kelompok tani yang dijanjikan subsidi harga pupuk. Kupon biru menjadi banyak tersebar di masyarakat.
Kisah di atas bukan cerita fiktif, memang benar-benar terjadi di negeri ini. Jadi jangan takjub ketika musim kampanye tiba, begitu murah dan bejibun segala janji diobral untuk meraih kemenangan di pesta pemilu.
Suatu ketika, pemirsa layar kaca begitu terkesima ketika melihat wawancara panjang dengan seorang menteri.
Dengan tegas menteri tersebut berujar kalau perbuatan korupsi akan sangat melukai perasaan anak-anak pelaku korupsi. Anak-anak yang tidak mengerti perbuatan orangt tuanya, pasti akan di-bully dan digunjingkan di sekolahnya.
Publik terhenyak kaget ketika mendengar menteri yang pernah berkotbah di televisi beberapa hari sebelumnya, menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsinya terkuak dan segala modus operandinya tersingkap.
Publik juga heran, menteri yang akhirnya mengenakan rompi orange KPK tersebut berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga berada.
Sama seperti moment saat diwawancarai awak media, di persidangan pun Sang Menteri minta dibebaskan karena dia merasa tidak bersalah dan harus dibebaskan karena dia kasihan dengan anak-anaknya.
Perannya sebagai ayah akan sulit tergantikan jika dirinya di penjara (Kompas.com, 9 Agustus 2021). Bukti-bukti dan keterangan para saksi yang mengetahui dengan jelas ke mana uang korupsi mengalir, seakan diabaikan dan dianggap tidak ada.
Bukannya kepada rakyat miskin yang tengah susah dihajar wabah dan ada sepeser hak-nya yang disunat pak menteri sebesar Rp 10 ribu per paket bantuan sosial, justru sang menteri memohon ampun dan maaf kepada presiden dan ketua umum partainya (Kompas.com, 10 Agustus 2021).
Jangan mudah terpukau di jagat politik nasional, kesalehan dan kemurah hatian para pesohor negeri di layar kaca dan panggung media sosial sering disetting sesuai arahan.
Bapak dan Ibu yang mendamba dukungan dan pilihan rakyat, terlihat manis di panggung depan tetapi kita janganlah kaget jika akan menemukan wajah yang sebenarnya di panggung belakang.
Erving Goffman dengan rancak menjelaskan fenomena itu dengan teori dramaturginya. Terdapat tiga ranah tindakan sosial yakni panggung depan atau front stage, panggung belakang atau back stage, dan panggung luar atau out stage. Pada masing-masing panggung, perilaku politisi bisa berbeda-beda bahkan bisa berlawanan.
Bisa saja ketika di rapat dewan yang dihadiri wartawan, Sang Politisi berucap berapi-api akan mengawal kepentingan warga yang terdampak pandemi dan meminta kesadaran warga untuk taat protokol kesehatan, tetapi di luar merasa dilecehkan petugas ketika diminta memakai masker di tempat umum. Status sebagai anggota Dewan yang terhormat harus dimahfumkan jika ditemukan kesalahan.
Ketika tampil di panggung depan dalam dramaturgi Goffman, seorang politisi berusaha menampilkan performance sebaik mungkin untuk memenuhi kepuasan pemirsa.
Bagaimana gerak mimik dan gesture, cara berbusana, pemilihan bahasa yang memikat, dan kalau perlu menangis serta mengiba seperti kelakuan menteri tadi agar audiens jatuh hati dan merasa kasihan.
Goffman memastikan akting ini hanyalah kepura-puraan, bukan sifat natural yang dimiliki oleh seorang aktor.
Tindakan seorang politisi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, umumnya dilakukan di panggung belakang. Perilakunya sangat natural dan tidak dibuat-buat.
Sementara panggung luar diartikan sebagai situasi nonformal di mana aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial tanpa mengganggu kebutuhan dan kepentingan yang bersifat personal (Mudjia Rahardjo, 2010).
Kerap para politisi kita yang kebetulan dipercaya menjadi pejabat publik begitu piawai memainkan panggung belakang dengan packaging alasan yang susah masuk di akal sehat dan akal sederhana para warganya.
Di saat warganya masih sulit mendapatkan vaksinasi dosis pertama, seorang wakil bupati bersama istrinya serta kepala polisi setempat malah sudah mendapat booster atau suntikan vaksin dosis ketiga. (Kompas.com, 13/08/2021).
Berdasar peraturan dari Kementerian Kesahatan yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.01/1/1919/2021, vaksinasi dosis ketiga diperuntukkan bagi seluruh tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan dan tenaga penunjang yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jelas tindakan wakil bupati tersebut pasti mengingkari janji-janj kampanyenya dulu yang akan selalu memperjuangkan nasib rakyat kecil. Tentunya termasuk, mempersilahkan warganya terlebih dahulu menerima vaksin pertama ketimbang pribadinya yang mendapat suntikan vaksin ke tiga.
Saya jadi teringat dengan kisah pesawat kecil berpenumpang 4 orang yang akan jatuh karena kerusakan engine. Penumpangnya terdiri dari pilot, politisi, seorang dosen dan seorang pramuka. Karena hanya ada 2 parasut yang tersedia, maka pilot dan politisi yang lebih cekatan mengambil parasut.
Pilot berkata, dia harus terjun dengan parasut terlebih dahulu karena keahliannya masih dibutuhkan untuk menerbangkan pesawat lain ke daerah -daerah yang terpencil dan terisolir.
Sedangkan sang politisi berkilah, dia juga harus terjun menggunakan parasut karena konstituennya sedang menunggu bantuan dan realisasi janji kampanyenya selama ini.
Akhirnya pilot dan politisi terjun keluar dan tersisa di pesawat yang mulai oleng hanya dosen dan pramuka.
Si Dosen mulai berdoa komat-kamit sementara Si Pramuka membereskan buntelan besar yang masih ada di pesawat. Si Pramuka berujar, “Ayoo Pak kita pakai dua parasut ini untuk terjun. Tadi pak pilot dan pak politisi salah pakai parasut. Yang diambilnya dua tas ransel pramuka saya.”
Semoga semua politisi, termasuk kita yang (tidak) menjadi politisi bisa memaknai pesan dari Proklamator kita
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Sukarno).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.