JAKARTA, KOMPAS.com - Sekarmadji MaridjanKartosoewirjo, yang merupakan pemimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), pada awalnya adalah sahabat Presiden pertama RI Soekarno.
Sejak 1918, mereka bekerja bahu-membahu berasama Tjokroaminoto demi kejayaan Tanah Air. Pada tahun 1920-an di Bandung mereka tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama.
Akan tetapi, ketika Bung Karno bergerak dengan landasan kebangsaan, SM Kartosoewirjo berjuang atas dasar agama.
Perbedaan ini menimbulkan perpecahan di antara keduanya, bahkan muncul benih-benih permusuhan.
Baca juga: Tjokroaminoto dan Dapur Nasionalisme Soekarno
Hujan granat di Cikini
Pada 30 November 1957 dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams, disebutkan bahwa Kartosoewirjo melalui anak buahnya hampir berhasil membunuh Soekarno.
Saat itu, Bung Karno sedang berjalan keluar meninggalkan malam dana amal di Perguruan Cikini, Jakarta, tempat kedua anak tertuanya bersekolah yaitu Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri.
Malam itu berlangsung keramaian. Ada hiasan balon, potongan kertas warna–warni, musik, nyanyian, lelang, dan pertunjukan singkat.
Baca juga: Soekarno dan Lahirnya Putra Sang Fajar
Sekitar 500 tamu serta para pengajar, anak-anak, dan ribuan penonton berdiri di tengah hujan, sekira pukul 18.55 WIB.
Pada saat itu Bung Karno turun dari lantai dua melalui tangga sempit. Hati Bung Karno sedang berbunga-bunga, ketika memainkan rambut seorang anak yang berjalan di sebelah kiri dan menggendong anak yang lain di sebelah kanan.
Bung Karno tengah dikerumuni anak-anak. Ketika sampai di luar, pintu mobil kepresidenan telah terbuka disusul isyarat kepergian presiden.
Komandan pasukan pengawal berteriak memberi aba-aba, “Hormat…!!!”
Baca juga: Ketika Soekarno-Hatta Diculik ke Rengasdengklok, Sahur Mencekam Jelang Proklamasi
Dari sebelah kiri gedung dilemparkan sebuh granat lagi. Dari sebelah kanan menyusul yang lain.
Saat itu, hal utama yang dipikirkan Bung Karno adalah melindungi anak-anak. Bung Karno merunduk untuk menyembunyikan anak-anak ketika seorang pengawal mendorongnya ke bawah belakang mobil.
Bung Karno menggunakannya sebagai perisai sampai sebuah granat yang dilemparkan dari jarak lima meter menembus mesin, menghancurkan kaca depan, merobek bagian dalam mobil menjadi serpihan dan meledakkan dua ban.
Granat yang keempat dilemparkan dari seberang jalan meremukkan sisi lain mobil. Anak-anak berteriak dan lari ketakutan memasuki gedung sekolah.
Baca juga: Saat Soekarno Dibuat Kesal Menunggu Presiden AS Eisenhower
Tamu-tamu berguling ke bawah kendaraan dan masuk selokan. Puluhan orang kena. Ratusan terbanting ke tanah.
Bung Karno melihat ledakan membuat seorang inspektur polisi terlontar menghantam sebuah tiang. Darah berserakkan.
Setelah mobil itu diledakkkan. Ajudan Bung Karno, Mayor Sudrato menarik tangannya. Bung Karno bersama ajudannya lari menyeberangi jalan. Dalam keadaan gelap dan panik, Bung Karno terjatuh ke tanah.
Sang ajudan menolong Bung Karno, lalu mereka lari ke sebuah rumah milik seorang Belanda.
Lalu, muncul lagi ledakan yang lelima.
Dalam beberapa menit polisi dan tentang sudah berada di tempat kejadian. Menyusul mobil ambulans, lalu diadakan rumah sakit darurat di gedung sekolah itu. 48 anak luka parah. Beberapa orang bahkam cacat seumur hidup.
Pukul 10.00 malam kendaraan cadangan membawa Bung Karno ke Istana. Sesampainya di Istana, Presiden Soekarno menenangkan rakyat melalui radio.
“Berkat berkat perlindungan Tuhan aku masih hidup dan tidak luka sedikit pun,” kata Bung Karno.
Baca juga: Soekarno dan Hatta, Dwitunggal yang Terpisahkan oleh Politik tetapi Tetap Bersahabat
Dalam waktu 24 jam, intelejen berhasil menangkap para pelaku.
Bung Karno melihat prosesi penguburan para korban. Ia menundukkan kepala mengenang korban-korban yang tidak berdosa dikuburkan ke dalam tanah.
Dia mengingat sembilan anak dan seorang perumpuan hamil yang dilihatnya sendiri jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatnya. Karena seorang fanatik yang hendak membunuh Bung Karno, mereka harus memberikan nyawanya.
Dan karena itu, Bung Karno membubuhkan tanda tangan menghukum Kartosoewirjo. Di tahun 1963 Kartosuwirjo mengakhiri hidupnya di hadapan regu penembak.
Ini bukan tindakan untuk memberikan kepuasan hati, kata Bung Karno. Tetapi, ini adalah tindakan untuk menegakkan keadilan.
Baca juga: Cerita tentang Bung Karno yang Takut Naik Kuda...
Percobaan pembunuhan di Istana
Pada 9 Maret 1960, kelompok DI/TII mencoba lagi untuk membunuh Bunga Karno. Saat itu Bung Karno sedang berada di rumah.
Tiba-tiba sebuat pesawat udara yang terbang rendah menjatuhkan pesan kematian tepat mengenai di mana seharusnya Bung Karno duduk.
Akan tetapi, percobaan pembunuhan itu gagal.
Saat Idul Adha 1962
Tepatnya 14 Mei 1962, terjadi percobaan pembunuhan lagi terhadap Bung Karno Peristiwa itu terjadi ketika melaksanakan shalat Idul Adha di lapangan rumput antara Istana Negara dengan Istana Merdeka, Jakarta.
Seseorang tiba-tiba menembakkan pistol ke arah Bung Karno ketika ia sedang sujud.
Si penembak itu berada empat baris di belakang Bung Karno. Belakangan, diketahui bahwa si penembak mengaku kesulitan membidik sasarannya karena melihat dua orang yang mirip dengan Bung Karno.
Tembakan tersebut tak mengenai tubuh Bung Karno sedikit pun.
Baca juga: Sedan Eks Bung Karno Saat Diasingkan di Bangka Barat Diusulkan Jadi Cagar Budaya Baru
Peluru hanya sempat menyerempet bahu Ketua DPR saat itu, Zainul Arifin. Dua anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden, yaitu Soedrajat dan Soesilo juga terluka dalam peristiwa itu.
Selain itu, Jenderal AH Nasution yang berdiri di sebelah kiri Bung Karno juga nyaris ikut menjadi korban.
Para pelaku penembakan itu diketahui berjumlah tiga orang, yaitu Sanusi, Kamil, dan Jaya Permana yang semuanya merupakan anggota DI/TII.
Setelah dilakukan pengusutan terhadap pelaku, seorang pemimpin pesantren di Bogor H Muhamad Bachrum juga ikut ditangkap.
Ia diduga menjadi otak dalam upaya pembunuhan itu dan telah memberikan undangannya sebagai akses masuk Istana saat pelaksanaan shalat.
Baca juga: Cerita Filatelis Buru Prangko Bung Karno dan Bung Hatta
Mahkamah Angkatan Darat kemudian menjatuhkan vonis mati kepada para pelaku, sementara H Muhamad Bachrum harus mendekam di penjara. Setelah peristiwa tersebut, Bung Karno tak lagi shalat di tempat terbuka.
Peristiwa ini juga mendorong Jenderal AH Nasution membentuk pasukan khusus yang bertugas untuk melindungi dan menjaga keselamatan jiwa kepala negara dan keluarganya.
Harian Kompas, 6 Oktober 2019, menuliskan, pasukan itu bernama Resimen Cakrabirawa yang dibentuk lewat SK No 211/PLT/1962 tanggal 6 Juni 1962 dan dipimpin Brigjen Moh Sabur dengan Kolonel Cpm Maulwi Saelan sebagai wakilnya.
Dilansir Historia, Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (1999), mengaku, telah mendapat informasi mengenai rencana pembunuhan itu satu hari sebelumnya.
Ia kemudian menempatkan beberapa anggotanya untuk menempati sejumlah pos di sekitar jemaah dan memperketat pintu masuk. Namun, upaya pembunuhan itu pun tak terhindarkan.
Baca juga: Cerita Bung Karno Rela Jual Mobil demi Bangun Patung Pancoran
Percobaan pembunuhan lainnya
Terjadi dua kali percobaan pembunuhan kembali terhadap Bung Karno. Kedunya terjadi di Makassar.
Yang keenam kali ketika Bung Karno dalam iring-iringan, ia melihat seorang laki-laki dengan gerak-gerik yang aneh seperti maling.
Ketika Bung Karno lewat berderet-deret, Bung Karno melihat orang itu hendak melemparkan granat. Mata pelaku menatap Bung Karno dan ada suatu kekuatan menurut Bung Karno yang menghentikan maksudnya.
Dalam saat sepersekian detik yang terbuang itu kendaraan Bung Karno. Kendaraannya sudah berada di luar batas pelemparan.
Bung Karno beranggapan bahwa untuk membunuh seorang kepala negara yang dikawal sunggu memerlukan urat syaraf yang kuat, hukumannya menakutkan bagi si penyerang. Jadi, dapat dimengerti bahwa si pelaku akan ragu-ragu bila tiba saatnya. Atau menurut Bung Karno, yang paling terpenting adalah siapa yang membuat pelaku ragu untuk melakukannya.
Baca juga: Mahfud Sebut Bung Karno Mempertemukan Agama dan Nasionalisme dalam Pancasila
Tak Gentar
Selama hidupnya, Bung Karno yakin ada kekuatan Maha Tinggi yang mengawalnya, yang memimpin dan melindunginya.
Mungkin di satu waktu salah satu dari usaha para pembunuhan ini akan mengenainya dan dengan begitu mereka akan berhasil membunuh Bung Karno.
Tetapi, kalaupun saat itu datang, kata Bung Karno, itu terjadi hanya oleh karena Tuhan yang menghendakinya. Bung Karno tak gentar.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah, Presiden Soekarno Wafat...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.