Kekalahan dua kali dari Susilo Bambang Yudhoyono dalam pilpres 2004 dan 2009, tidak menyurutkan perhatian internasional kepada Megawati.
Dalam dua kali muhibah ke Korea Utara yang penulis ikuti di 2005 dan 2006, Presiden Kim Jong Ill – ayah Presiden Kim Jong Un sekarang – begitu menaruh kepercayaan kepada Megawati agar menjadi mediator untuk reunifikasi dengan Korea Selatan.
Di saat Korea Utara diembargo habis-habisan ketika itu, Megawati begitu disambut meriah di Pyongyang walau bukan lagi menjadi presiden.
Korea Selatan yang mendengar kabar Megawati bersahabat dekat dengan Kim Jong Ill, juga diundang ke Seoul.
Penulis yang mendampingi Megawati bertemu dengan tokoh kharismatik sekaligus mantan Presiden Korsel Kim Dae Jung menjadi saksi tentang harapan besar rakyat Korea kepada Megawati.
Korea Utara begitu percaya dengan Megawati karena faktor kesejarahan lama yakni persahabatan Bung Karno dengan Kim Ill Sung – kakek Kim Jong Un.
Megawati begitu luwes menghadapi Kim Jong Ill dan menautkan harapan itu ke Korea Selatan. Memang butuh waktu untuk menyatukan rakyat di Semenanjung Korea tetapi harapan yang ditabur Megawati suatu saat akan menjadi kenyataan.
Tidak salah kerabat Kerajaan Gowa, Sulawesi Sulatan di tahun 2006 silam memberikan gelar I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya kepada Megawati.
Arti nama kehormatan itu adalah “Garuda Betina dari Timur” untuk menggambarkan keberanian dari Megawati.
Megawati, saya begitu yakin tidak mengemis-ngemis gelar profesor. Dalam fase kehidupannya, sudah begitu komplet episode kehidupan yang telah dilaluinya.
Terlahir sebagai anak presiden, dikucilkan dan dirusak nama baik ayahandanya, berjuang dengan komitmen tanpa kekerasan, menggapai posisi tertinggi serta mengantarkan Joko Widodo sebagai presiden.
Dia telah menabalkan menjadi perempuan pertama di negeri ini yang menjadi presiden setelah sebelumnya wakil presiden.
Ada peribahasa Jawa yang menyebut, “mikul dhuwur mendhem jero”. Artinya, kita harus menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua.
Selalu hormat kepada orang tua atau pemimpin namun tidak serta merta untuk sekadar menonjolkan kebaikan atau prestasi pemimpin serta memendam atau menutupi kekurangan atau kesalahannya.
Setiap pemimpin kita, selain kekhilafannya yang tidak disengaja tetapi pasti ada keinginannya yang luhur. Menjadikan tanah pertiwi sebagai rumah kita bersama, kebanggaan anak Pancasila selamanya.
*Penulis adalah doktor komunikasi politik dan pengajar di berbagai universitas serta Staf Khusus Presiden Megawati Soekarnoputeri (2004 – 2010)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.