Amatan saya di lapangan, dikemas lagi dengan keajegan pola berpikirnya yang runut dan logis
Mengingat fokus terminasi Universitas Pertahanan terhadap leadership Megawati selama menjabat sebagai presiden, tentu ingatan penulis tertuju kepada penolakan Megawati di tahun 2002 terhadap permintaan Presiden AS George Bush yang meminta ekstradisi Abubakar Ba’asyir terkait tuduhan terlibat teroris.
“Saya tidak sudi dididkte negara lain dan Ba’asyir adalah warganegara Indonesia. Saya wajib melindungi rakyat saya. Soal kesalahan yang dituduhkan, biar hukum Indonesia yang mengadilinya,”ujar Megawati kepada saya ketika itu.
Satu lagi kebijakan tegas tanpa kompromi – seperti mengulang cara Soekarno – ketika AS menolak menjual peralatan militernya kepada Indonesia, Megawati malah mengalihkan pembelian pesawat tempur Sukhoi seri 27 dan 30 ke Rusia.
Tidak hanya pesawat tempur, Mega juga mendatangkan helikopter MI-35, kapal laut jenis korvet sigma class III dan IV serta retrofit kapal tempur.
AS ketika itu masih mengembargo TNI dan sempat menahan pesawat F-5 usai di-upgrade dengan sistem avionik terbarui.
Strategi Soekarno dalam perebutan Irian dari tangan Belanda dikenal jitu dan mampu “mempermainkan” dua negara adikuasa, AS dan Uni Sovyet ketika itu.
Dari tangan AS, Sukarno mendapat pesawat Hercules C-130 serta dari Uni Soviet beroleh puluhan kapal selam, kapal perang raksasa RI Irian, kapal induk untuk kapal selam, pembom strategis TU-16, pesawat Mig serta arsenal pertahanan tempur besar-besaran.
Jika Soekarno bisa membeli peralatan tempur dengan harga diskon, maka Megawati bisa membarter peralatan perang dengan komoditi.
Jika Soekarno mampu membuat kekuatan militer kita disegani negara lain maka Megawati bisa mengangkat kehormatan TNI yang tengah terpuruk akibat salah urus rezim Soeharto.
Dari pola kepemimpinan dan ketegasan Megawati yang selama ini teramati penulis, Megawati jauh dari kesan “klemar-klemer” atau “plintat—plintut” untuk meminjam istilah Bahasa Jawa yang menggambarkan orang yang tidak teguh, lamban atau tidak berkomitmen.
Justru karakter kepemimpinan begitu “garang” serta tegas. Apa yang diucapkan, selaras denga apa yang diberbuat.
Usai kekalahan telak dari Susilo Bambang Yudhoyono di pilpres 2004, sering Megawati berkisah kepada saya secara pribadi mengenai nasihat pengurus partainya serta menteri-menterinya.
Baca juga: Bakal Mendapat Gelar Profesor Kehormatan, Apakah Megawati Dapat Tunjangan Kehormatan?
Keputusannya untuk menggelar pemilihan presiden secara langsung ditentang oleh koleganya karena akan menjadi pintu masuk bagi kemenangan rival politiknya.
Megawati tegas berkomitmen demi berdemokrasi yang matang maka jalan pemilihan langsung harus tetap digelar dan tidak boleh dihambat.
Serupa dengan jalan pilihan Soekarno yang tidak sudi menggerakkan pendukungnya untuk menentang kebijakan Soeharto yang memenjarakannya di Wisma Yaso dan menterjemahkan Supersemar seenaknya sendiri.
Gaya diplomasi dansa “Lenso Bengawan Solo” Megawati dengan Perdana Menteri Jiang Zemin di 2002 berhasil membujuk China agar menggagalkan rencana pembelian gas kepada Rusia dan Australia.
Penawaran gas LNG Arun ketika itu berhasil memikat China untuk mengimpor gas dari Indonesia. Indonesia butuh devisa dan China adalah kekuatan ekonomi dunia yang paling “tajir” dan mulai “moncer” ketika itu.
Penulis beruntung bisa menjadi saksi kecil dalam perjalanan hidup Megawati usai tidak berkuasa lagi.